Negara Gagal Menyangga Pilar Demokrasi

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Kegiatan perayaan menyambut HUT Kemerdekaan 17 Agustus 2012 di masyarakat tampak sepi, tidak adanya antusiasme masyarakat dalam menyambut hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Padahal, beberapa tahun lalu kemeriahan masih terasa hingga seminggu setelah 17 Agustus. Sekarang, hari yang bersejarah itu berlalu begitu saja bahkan sejumlah masyarakat menunjukkan sikap sinis terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia.

Menurut pengamat sosial dari Universitas Airlangga, Prof. Hotman Siahaan, kondisi tersebut sudah kelihatan dalam setiap peringatan hari ulang tahun kemerdekaan yang memang tidak terisi dengan kegiatan yang berarti selain rutinitas yang dilakukan termasuk oleh pemerintah dengan upacara. Fenomena ini adalah akibat dari kegagalan negara menyangga pilar demokrasi dalam membangun spirit nasionalisme. “Itulah yang terjadi saat ini, hingga respon masyarakat terus berkurang,” katanya ketika dihubungi tubasmedia.com, baru-baru ini.

Selain itu, tambah Hotman, format perayaan hari kemerdekaan, begitu-begitu saja dan menjenuhkan. Tak ada inovasi dan kreatifitas. Pemerintahpun atau negara tak sempat memikirkan bagaimana teknik agar hari kemerdekaan mampu dijiwai rakyat Indonesia. Kebetulan juga bertepatan dengan hari puasa dan lebaran. Otomatis kelesuan masyarakat meramaikan kegiatan tujuhbelasan seperti membeli bendera. Sebab pada bulan puasa Ramadhan, harga harga bahan pokok sudah lebih dulu mengalami kenaikan dan memaksa orang berhemat dan mendahulukan kebutuhan pokok selama Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri.

Untuk pemasangan bendera lebih baik menggunakan barang lama sehingga kalau diamati bendera yang dipasang di depan rumah warga masyarakat kelihatan warna warni karena warnanya sudah luntur dimakan usia. “Apakah ini pertanda bangsa Indonesia sudah mulai luntur menghargai makna kemerdekaan? Ini perlu disikapi,” kata Hotman.

Dalam kebanggaan sebagai negara demokratis, tambah Hotman yang sudah merdeka selama 67 tahun, seluruh rakyat menaruh harapan besar kepada para pemimpinnya untuk mengangkat tingkat kesejahteraan menuju masyarakat yang adil makmur, aman, sejahtera. Namun kenyataannya jauh panggang dari api dan negara tidak mampu membuat masyarakat bangga dengan negeri ini.

Menurut dia harapan itu masih ada, meski dalam perjalanan menuju kesana para pemimpin republik ini seolah masih dipersimpangan jalan, masih harus memilih yang mana arah yang mesti ditempuh. Akrobat para politisi dan penguasa sering membuat muak rakyat, namun optimisme untuk membangun harus tetap dipupuk demi kejayaan negeri.

Ditegaskan Hotman apabila hati rakyat Indonesia masih terjajah oleh sifat-sifat rakus dari para penguasa, maka secara langsung akan mempengaruhi tatanan masyarakat dan pemerintahan yang penuh dengan ketidakpastian dan kesemrawutan yang pada akhirnya mempengaruhi bangsa ini. Sebab kenyataannya, dalam tatanan bernegara, hukum hanya berlaku bagi orang-orang kecil saja sementara orang besar tak pernah tersentuh. Korupsi merajalela tanpa terkendali, penggusuran, mafia peradilan dan sederet tindakan kesewenang-wenangan masih terus menghiasi negeri ini.

Dengan demikian kata Hotman kemerdekan tinggal mimpi dan hanya di angan-angan. Seharusnya, arti sebuah Ramadan yang berdampingan dengan HUT kemerdekaan harus dipahami sebagai kedamaian hati yang belum merdeka. “Selama tidak ada damai di hati kita, akan tetap memberontak, apalagi selama kemerdekaan negara kita belum kembali sepenuhnya. Saatnya kita membebaskan jiwa dari nafsu angkara murka dengan kemerdekaan pengendalian diri masing masing rakyat yang implementasinya akan terlihat pada makna kemerdekaan bangsa yang sesungguhnya,” jelas Hotman. (aru)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS