Negeri Ini Selalu Menghadapi Ancaman

Loading

IMG_8496.jpg2

Oleh: Fauzi Aziz

 

HAMPIR semua negara di dunia, baik yang sedang membangun, maupun yang terus menerus menjaga bekerjanya sistem perekonomian masing-masing negara, memerlukan likuiditas yang benar-benar likuid.

Faktor cash inflow menjadi penting. Baik yang berasal dari dana investasi, hasil surplus neto perdagangan internasional, hutang, atau yang berasal dari penerimaan dalam negeri.

Tanpa mempunyai likuiditas yang cukup besar, progam-progam pembangunan nyaris tak akan mampu terbiayai dan juga pertumbuhan ekonomi pasti tidak akan bisa dioptimalisasikan.

Internal saving menjadi penting, begitu pula upaya membentuk cadangan moneter dan fiskal agar kegiatan pembangunan dan roda ekonomi tetap dapat berputar guna menghasilkan pertumbuhan ekonomi.

Manajemen lalu lintas likuiditas menjadi keniscayaaan agar negeri ini tidak mengalami kekeringan likuiditas akibat salah kelola. Penggunaan likuditas juga perlu perhatian karena negeri ini masih terlalu boros. Misal, Indonesia masih harus impor migas dan BBM yang pasti menggunakan cadangan devisa yang tidak sedikit.

Begitu pula untuk impor bahan pangan, bahan baku/penolong, suku cadang dan barang modal masih menggunakan cadangan devisa yang cukup besar. Nampaknya, likuiditas yang masuk dan keluar tidak berimbang sehingga negeri ini selalu menghadapi ancaman defisit dalam pengelolaan neraca finansial dan modal, serta neraca transaksi berjalan akibat struktur ekonomi Indonesia masih mengandalkan barang dan bahan impor.

Industrialisasi dan pembangunan sektor pertanian dalam arti luas belum berhasil menjalankan strategi substitusi impor karena pembiayaan investasi dari sektor perbankan belum sepenuhnya mampu menyediakan likuiditas dengan suku bunga yang kompetitif, minimal setara dengan yang berlaku di negara Asean lainnya.

Pembangunan industri yang mengolah sumber daya alam di dalam negeri tidak banyak peminatnya karena biaya investasinya sangat besar, returnya panjang dan imbal hasilnya rendah, meskipun economic outcome-nya cukup baik.

Situasi ini telah mengakibatkan kegiatan dan proses ekonomi di dalam negeri makin bergantung dari luar dalam hal penyediaan modal maupun teknologi. Proyek- proyek pembangunan infrastruktur banyak dibangun dengan pendekatan turn key project yang notabene impor contennya makin tinggi, baik barang maupun jasa.

Kebijakan tax amnesty yang dilaksanakan pemerintah adalah bukti  negeri ini mengalami kekurangan likuiditas dan salah satu indikator yang tercatat oleh BI, hingga triwulan-III tahun 2016, hutang Indonesia telah mendekati angka Rp 4.500 triliun atau sepertiga lebih dari PDB ekonomi nasional.

Likuiditas saat ini merupakan barang mahal karena banyak yang memerlukan. Dunia barat sekarang memerlukan likuiditas dalam jumlah yang sangat besar bukan untuk membangun, tetapi lebih banyak untuk membayar hutang. Sebagai contoh, hutang negara-negara yang tergabung di Uni Eropa yang rata-rata melanggar azas kepatutan dan kepatuhan, yakni melampaui batas maksimum kewajaran.

Posisinya di atas 60% dari PDB masing-masing negara. AS juga menghadapi masalah serupa, dimana hutang negeri Paman Sam ini nisbahnya terhadap PDB di atas 60%, sehingga tahun 2008, Uni Eropa dan AS terjebak krisis hutang yang imbasnya menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.

Kebangkitan ekonomi global, regional dan nasional memerlukan likuiditas yang tidak kecil karena semua negara harus menggerakkan investasinya, baik investasi portofolio maupun investasi pisik. Kebangkitan ekonomi menjadi harapan semua negara di dunia, meskipun kecepatan proses kebangkitannya tidak bisa terjadi seperti di masa lalu akibat dunia secara global menghadapi problem kerusakan lingkungan yang begitu hebat sehingga menggerus kuantitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi.

Memperbaiki lingkungan yang rusak juga membutuhkan likuiditas yang besar dan hingga kini dunia belum berhasil menghimpun dana perbaikan lingkungan karena mandeg dalam berbagai perundingan meskipun sudah ada legal framework-nya seper ti yang dituangkan dalam Protokol Kyoto.

Dunia limbung karena persoalan likuditas, meski pun tidak ada krisis likuditas seperti terjadi di Asia tahun 1998. Progam social safety net juga membutuhkan dana yang besar. Begitu pula mengurus para pengungsi yang dewasa ini marak terjadi di wilayah konflik, yang penduduknya melakukan eksodus besar-besaran ke negara-negara di Eropa dan di negara-negara lain.

Tanpa likuiditas tidak mungkin pertumbuhan ekonomi terjadi. Oleh sebab itu, pengelolaan likuiditas menjadi penting. Menghimpun likuditas jauh lebih sulit daripada menggunakannya. Segala macam bentuk pemborosan terhadap penggunaan likuiditas harus menjadi perhatian bersama karena selain jumlahnya makin terbatas, biaya modalnya juga tidak bisa dibilang murah lagi karena jumlah kebutuhannya semakin besar dibanding persediaannya.

Bagi Indonesia yang sedang bergairah membangun masa depannya persoalan penyediaan dan penggunaan likuiditas menjadi tantangan dan sekaligus ancaman jika tak pandai mengelolanya. Dana repatriasi dan investasi yang berhasil masuk ke sistem keuangan nasional jangan lagi diberikan kebebasan dibawa ke luar lagi karena pemerintah tidak berhasil mengkonversikannya ke dalam proyek-proyek prioritas nasional akibat perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang buruk.

Penerimaan negara dari pajak dan non pajak, sebaiknya tidak lagi dibagi habis kepada kementerian/lembaga sehingga menimbulkan bias ketika pemahaman fungsi alokasi, dis tribusi dan fungsi penjaga stabilitas perekonomian dan pertumbuhan dilaksanakan oleh pengguna anggaran dengan pendekatan yang salah persepsi.

Sekarang ini pemerintah terlalu boros dalam menggunakan APBN. Defisit anggaran sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah tidak royal menggunakan APBN sebagai sumber likuiditas yang bisa dikuasai pemerintah. (pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS