Nomor Ganjil dan Genap Tidak Selesaikan Masalah

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

PENERAPAN operasional bergantian kendaraan atau mobil pribadi berplat nomor genap dan ganjil, bukanlah pemecahan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Justru kebijakan yang tidak populer ini, membawa persoalan baru bagi masyarakat, dan bahkan bisa mendorong pemilik atau pengguna kendaran atau mobil berbuat hal yang negatif dengan membuat plat nomor ganda atau nomor palsu, agar bisa beroperasi sepanjang waktu.

Bagi sebagian besar warga Jakarta, pemilikan kendaraan pribadi adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang penting sebagai sarana transportasi rutin untuk bekerja, berusaha, mengantar anak sekolah, kuliah dll. Sehingga, kalau sehari operasional, dan sehari lagi tidak, maka akan menimbulkan masalah baru, atau menyulitkan rutinitas. Sebagai jalan keluarnya, terpaksa mencari jalan pintas, atau mengakali peraturan. Tentu, hal negatif seperti ini, tidak diinginkan oleh si pembuat kebijakan.

Memang hitung-hitungan secara teoritis, bila nomor ganjil dan genap bergantian operasional setiap hari, ada pengurangan volume kendaraan di jalan raya, sekaligus ada penghematan penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Tetapi, apakah hitung-hitungan secara teoritis itu bisa menjadi kenyataan di lapangan? Sepanjang tidak ada alat transportasi alternatif, maka kebijakan melarang kendaraan pribadi untuk beroperasi, bisa dikategorikan melanggar hak azasi manusia. Setiap kebijakan yang membatasi kebebasan, akan memancing perlawanan atau mencari celah untuk lolos dari larangan.

Sesunguhnya, sambil memecahkan masalah kebutuhan masyarakat akan angkutan umum yang cukup memadai dan lancar, kebijakan three in one atau kendaraan yang bisa melintas suatu jalan harus berpenumpang tiga orang atau lebih, bisa diteruskan. Dan bila perlu, diperluas lagi dengan kebijakan baru dengan menetapkan beberapa jalan berbayar elektronik (electronic road pricing-ERP), yakni setiap kendaraan pelintas, harus membayar sejumlah uang tertentu.

Kebijakan ini secara tidak langsung melarang atau mengurangi kendaraan pribadi atau kendaraan lain melintasi jalan-jalan tertentu tersebut, sehingga lalu lintas lebih lancar. Tetapi penetapan jalan-jalan berbayar ini pun harus betul-betul efektif dan selektif, bukan untuk mencari uang seperti jalan tol.

Jokowi jangan terpengaruh bisikan membuat persoalan baru bagi sebagian besar warga kota dengan rencana operasional kendaraan plat nomor genap dan ganjil itu diberlakukan mulai Maret nanti. Hal itu sudah wacana lama untuk meniru-niru kota dunia lain, yang beda kondisi dan latar budaya dengan Indonesia. Seorang anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra, M.Sanusi, dalam pernyataannya Desember tahun lalu, juga mengatakan jangan gegabah menerapkan aturan ganjil-genap itu. Model pembatasan ganjil-genap itu gagal dalam pelaksanaannya di kota-kota besar, seperti Beijing, Roma, Mexico City dan Athena.

Sebaiknya, Jokowi fokus saja untuk membangun sarana angkutan umum dan transportasi massal yang bisa memenuhi kebutuhan warga kota Jakarta secara keseluruhan. Minat untuk memiliki kendaran pribadi akan berkurang, apabila sarana transportasi publik sudah cukup memadai untuk melayani kebutuhan. Lagipula, menurut M. Sanusi, sudah ada kajian yang dilakukan pakar menggunakan dan hibah dari Australia tahun 2002, tentang penataan transportasi di Jakarta dalam jangka pendek. Dalam kajian itu, pembatasan nomor ganjil-genap justru tidak direkomendasikan.

Perkuat Angkutan Umum

Langkah Pemerintah Prov insi DKI Jakarta mulai Januari ini menambah armada bus transjakarta, serta mengintegrasikan bus ukuran sedang dengan bus transjakarta, dinilai cukup baik. Lajur khusus bus (busway) yang selama ini lowong, dapat diefektifkan oleh bus ukuran sedang tadi, sehingga selang waktu angkut penumpang menjadi lebih kecil, dan penumpang tidak berjubel menunggu di halte-halte. Hanya yang menjadi persoalan, pengadaan 450 bus transjakarta dan program hibah 1.000 bus umum (ukuran sedang) yang menjadi kebijakan Jokowi-Ahok dalam APBD DKI Jakarta tahun 2013, moga-moga bisa didukung oleh DPRD DKI yang mayoritas anggotanya dari Parpol yang bukan pendukung Jokowi-Ahok pada Pemilukada yang lalu.

Gubernur Jokowi juga menghendaki agar proyek pembangunan monorel yang selama ini mangkrak, segera dilanjutkan. Diharapkan dua konsorsium, yakni PT Jakarta Monorail dan PT Adhi Karya dapat bergabung dan bekerja sama membangun proyek angkutan kereta layang tersebut. Namun belakangan, PT Adhi Karya sebagai konsorsium baru merasa keberatan bergabung dengan konsorsium lama, karena dinilai sudah gagal selama ini. Konsorsium baru yang dipimpin PT Adhi Karya terdiri dari PT Telkom, PT Lembaga Elektronika Nasional, PT Jasa Marga dan PT Industri Kereta Api (semuanya BUMN), hanya bersedia bekerja sama dengan BUMD Pemprov DKI Jakrta untuk membangun monorel tersebut.

Sementara itu, proyek transportasi massal (mass rapid transit-MRT) yang menggunakan dana pinjaman dari Lembaga Keuangan Jepang, bisa segera disetujui Jokowi tentang struktur pembiayaannya yang tidak memberatkan Pemprov DKI. Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo juga mendukung Jokowi perlu kehati-hatian membangun proyek infrastruktur yang besar. Seperti diketahui, proyek MRT ini diinisiasi Kementerian Perhubungan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Pemprov DKI Jakarta pada masa Gubernur Fauzi Bowo. Jokowi mempertanyakan pengembalian pinjaman seperti apa, akan dibebankan kepada pengguna seperti apa, termasuk penentuan tarif kelak yang tidak terlalu mahal. ***

CATEGORIES
TAGS