Nyepi

Loading

Oleh: Edi Siswojo

Ilustrasi

Ilustrasi

SEPI dan menyepi itu berbeda sifat. Sepi sifatnya pasif sedang menyepi bersifat aktif. Kini, kata dasar “sepi” tengah mencari makna yang tepat ketika banyak elite berbicara di tengah-tengah kegaduhan teriakan berbagai elemen masyarakat dan jeritan rakyat terhadap rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai 1 April mendatang.

Di tengah hiruk pikuk itu, Tahun Baru Saka 1934 yang dirayakan oleh sebagian masyarakat Indonesia menemukan makna dalam aktivitas Nyepi yang dilakukan sebagai bagian dari keyakinan dalam kehidupan beragama.

Sebagai masyarakat yang berbudaya kita menghormati refleksi dan introspeksi yang dilakukan dalam aktivitas Nyepi sebagai bagian dari kekayaan masyarakat bangsa Indonesia. Kita juga menghormati ucapan, teriakkan dan jeritan yang tidak pernah sepi dalam kehidupan sosial politik yang demokratis di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Masalahnya bagaimana kita menemukan solusi yang bermakna saat banyak elite berbicara dan masyarakat luas berteriak-teriak terhadap dampak kenaikkan harga BBM. Kekeringan makna demokrasi semakin terasa saat banyak aspirasi yang berbicara tetapi sedikit yang mendengar dan mendengarkannya.

Terbukti sejumlah persoalan yang menyakut hajat hidup orang banyak–seperti dibiarkan–hanya berputar-putar di tempat tanpa ada tindakan kongkret untuk membereskannya. Koordinasi dan sinkronisasi dalam sinergi jalan ke luar seperti tak lagi menjadi kebutuhan bersma. Masing-masing larut di dalam keasyikan urusan dan kebutuhannya sndiri.

Ada baiknya aspirasi yang tak lagi sepi oleh jeritan rakyat karena dampak kenaikkan harga BBM diberi makna yang tepat. Koordinasi dan sinkronisasi dalam sinergisitas tindakan kongkret sangat sangat dibutuhkan. Jangan dibiarkan masyarakat berjalan sendiri-sendirti. Banyak kemungkinan bisa terjadi dari suatu perpisahan apalagi perceraian aspirasi dalam kehidupan berdemokrasi !***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS