Operasi Lalu Lintas Hendaknya Dilakukan Kontinyu

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

SELAMA 21 hari mulai Senin (26/3) hingga 15 April ini, Polda Metro Jaya menggelar Operasi Simpatik Jaya 2012, sebagai operasi khusus bidang kelalulintasan. Hal ini dimaksudkan salah satu operasi cipta kondisi menjelang pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Gubernur DKI Jakarta 11 Juli mendatang.

Menurut Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Wahyono, operasi simpatik ini akan menekankan kegiatan preemptif dan preventif, termasuk penegakan hukum secara tegas, namun humanis.

Padahal, kondisi lalu lintas di Jakarta yang meresahkan, adalah pada masa kampanye nanti, yakni mulai 24 Juni hingga 7 Juli, di mana konstituen parpol-parpol besar, diperkirakan akan jor-joran turun ke jalan mendukung calonnya. Akan terjadi pelanggaran aturan lalu lintas, termasuk penggunaan kendaraan bak terbuka, maupun sampai naik ke atap angklutan umum.

Menurut Wahyono, operasi ini melibatkan 2.896 personel, dengan sasaran utama untuk mempertinggi kesadaran berlalu lintas para pengendara sepeda motor dan pengemudi angkutan umum. Sebab, potensi kecelakaan dan kemacetan arus lalu lintas, banyak disebabkan kurang disiplinnya pengendara sepeda motor dan pengemudi angkutan umum. Disebutkan pula, akan mengikuti pedoman Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur mana yang boleh dan dilarang dalam berlalu lintas

Operasi semacam ini memang patut diapresiasi, namun alangkah lebih efektif apabila dilakukan kontinyu, atau secara terus menerus, walaupun sifatnya hanya insidentil dan secara uji petik. Sesungguhnya, itulah sumpah jabatan yang melekat pada tugas kepolisian, khususnya kesatuan Polisi Lalu Lintas (Polantas) untuk melakukan pengawasan kontinyu.

Dengan cara demikian, pengendara sepeda motor dan pengemudi angkutan umum, akan senantiasa waspada dan tertib mematuhi peraturan lalu lintas, karena sewaktu-waktu bisa terkena tindakan. Petugas Polantas pun akan lebih dihormati dan disegani, tidak hanya ditakuti pada saat-saat operasi dilancarkan.

Sebenarnya Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, telah diberlakukan sejak tahun 2010 lalu, namun sosialisasinya hampir tidak terdengar. Sangat disayangkan, DPR RI yang ikut membuat UU tersebut tidak mau menjelaskan kepada rakyatnya tentang UU yang dibuatnya. Sebagaimana kebiasaan para petugas, termasuk polisi lalu lintas, gemar menjerat masyarakat dengan ancaman tilang, dengan alasan menerapkan pasal-pasal UU tersebut, padahal masyarakat tidak tahu.

Kurungan atau Denda Uang

Untuk itulah, masyarakat harus menjaga diri. Selain harus memahami aturan, larangan dan petunjuk rambu-rambu lalu lintas, masyarakat juga harus proaktif mempelajari beberapa pasal dalam UU No 22/2009, agar jangan sampai terjerat pidana kurungan atau denda yang cukup berat.

Antara lain, dalam pasal 283 UU itu disebutkan, mengemudi kendaraan bermotor sambil menelepon, bisa dikenakan pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp750.000. Dalam pasal 287, pengemudi yang langsung belok kiri di persimpangan yang tidak ada perintah belok, dikenakan pidana kurungan maksimal 2 bulan atau denda Rp500.000.

Dalam pasal 278 UU itu menyebutkan, pengemudi mobil yang tidak membawa perlengkapan kendaraan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda dan peralatan P3K, bisa dikenakan pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda Rp250.000. Dalam pasal 281, pengemudi yang tidak memiliki SIM atau tidak membawa SIM, dikenakan pidana kurungan 4 bulan atau denda Rp1 juta.

Dalam pasal 289 UU itu disebutkan, setiap pengemudi mobil dan orang di sampingnya yang tidak mengenakan sabuk pengaman, dikenakan pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda Rp250.000. Pasal 296 menyebutkan, pengemudi yang melanggar perlintasan kereta api ketika sinyal sudah berbunyi, atau palang pintu sudah ditutup, dipidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda Rp750.000.

Khusus bagi para pengendara sepeda motor, pasal 291 (ay 1) UU itu menyebutkan, yang tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia (SNI), bisa dipidana kurungan maksimal 2 bulan atau denda Rp500.000. Pada pasal 291 (ay 2), yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm, bisa dipidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda Rp250.000.

Pasal 285 (ay 1) UU itu menyebutkan, pengemudi sepeda motor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah (sein), alat pemantul cahaya, knalpot dan kedalaman alur ban, bisa dipidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda Rp250.000.

Sedangkan pasal 293 (ay 2) menyebutkan, pengemudi sepeda motor yang tidak menyalakan lampu utama pada siang hari, dikenakan pidana kurungan maksimal 15 hari atau denda Rp100.000. Namanya oprasi simpatik, tapi bisa jadi perangkap mencari uang.***

CATEGORIES
TAGS