Site icon TubasMedia.com

“Panggung Pementasan” Keunggulan Nasional

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

JARGON tentang pentingnya kedaulatan dan kemandirian sudah seringkali kita dengar bersama. Berdikari, swasembada, dan jargon lainnya akhirnya hanya menjadi sebuah mitos, karena panggung pementasannya tidak disiapkan dengan baik. Padahal, kedaulatan dan kemandirian hakikatnya adalah perintah konstitusi. Sedangkan berdikari dan swasembada pada dasarnya adalah wujud konkret dari sebuah proses jalannya pembangunan yang secara sistemik dirancang agar bangsa ini benar-benar berdaulat dan mandiri di bidang politik, ekonomi, hukum, budaya, dan bahkan teritorial karena sistem pertahanan semestanya dalam arti luas dibangun untuk melindungi kepentingan nasional.

Semua negara di dunia pada hakikatnya berperilaku sama, yaitu ingin bangsanya berdaulat dan mandiri. Karena itu, pemerintahnya bekerja keras menyiapkan panggung pentas yang kuat dan menarik di pusat maupun di daerah agar bangsanya sendiri bisa tampil hebat di atas panggung pentas di negerinya sendiri dan di panggung internasional, baik di ASEAN, APEC maupun panggung global lainnya.

Kita menjadi tidak mengerti mengapa pemerintah justru makin sibuk dan percaya diri bahwa negeri ini supaya tumbuh ekonominya harus diberikan ke pihak asing. Sebagian panggung pentas yang disiapkan disediakan untuk kepentingan asing. Apa begitu cara memaknai globalisasi. Terus terang was-was. Jangan-jangan keblinger pemimpin nasional di negeri ini dalam berpikir dan bertindaknya untuk membangun kedigdayaan bangsa dan negaranya.

Kok malah bangga ketika habis ketemu tuan besar dari berbagai negara pulang membawa kabar-kabur bahwa ada sekian miliar dolar dari investor global yang akan ditanamkan di sektor tambang, sektor manufaktur, bahkan sektor UKM negara tertentu di Indonesia. Mereka diberi karpet merah, dikasih fasilitas macam-macam dan ditempatkan sebagai warga negara kelas satu yang patut dihormati atau dalam tradisi Jawa disebut diewongke.

Warga Sendiri

Sementara itu, warga negaranya sendiri, yang juga memilki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang sebagai kelompok entrepreneur masa depan, malah diposisikan sebagai warga negara “kelas dua”. Pemerintah malah medit kepada mereka. Mencari pembiayaan di dalam negeri dipersulit, dan akhirnya terpaksa kabur keluar mencari sumber pembiayaan dari negara lain, termasuk membawa kabur otaknya yang cemerlang ke luar negeri.

Sehingga mereka menjadi hebat bukan bersama merah putih, tetapi dengan bendera yang lain. Kalau hal yang demikian dianggap benar, karena alasan globalisasi, liberalisasi, dan perdagangan bebas, maka jangan salahkan rakyat ketika mereka menjadi hilang kepercayaannya kepada pemerintah dan para pemimpinnya.

Kalau kita sempat membaca semua undang-undang yang terkait dengan sektor ekonomi, pada konsiderannya hampir tidak ada yang tidak menyebut pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukannya.Tapi, hal itu ternyata hanya dipakai sebagai syarat legal formal. Praktiknya yang dicerminkan dalam kebijakan ekonomi yang ditempuh jauh dari misi yang diamanatkan oleh konstitusi. Manakala panggung pentas ekonomi lebih memanjakan modal asing dan pemain asing ketimbang menyediakan panggung pentas untuk pemain lokal apakah bisa dianggap inskonstitusional, hanya rumput bergoyang yang tahu. ***

Exit mobile version