Pejabat yang Hanya Doyan Simbol Disingkirkan Saja…

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

 

TIDAK sedikit pejabat di negeri ini yang kerjanya sibuk mengutak-atik simbol-simbol yang tidak ada manfaatnya kepada kehidupan masyarakat banyak. Manfaat simbol-simbol itu tidak lain tidak bukan hanya memuaskan nafsu kekuasaan sang pejabat yang sejatinya tidak punya kemampuan apa-apa, kecuali bersimbolisasi doang.

Simbol-simbol dimaksud sangat beragam bentuknya. Ada yang sangat senang membangun tugu atau patung. Ada juga yang suka bangat mengenakan pakaian adat daerah biar kesannya si pejabat itu mencintai setiap adat dari berbagai daerah. Tidak salah sih apa yang mereka lakukan.

Tapi apa relevansinya simbol-simbol itu terhadap kehidupan masyarakat jika hanya berhenti pada simbol saja, tanpa action yang bisa dirasakan banyak orang. Kalau simbol pengenaan pakaian adat daerah itu hanya pada tingkat menyemarakkan acara, setelah itu sirna tanpa bekas apa-apa, untuk apa?

Kan lebih baik tanpa simbol, tapi dampak kehadiran sang pejabat itu langsung nendang dan mengena kepada kebutuhan si masyarakat ? Sebut saja misalnya sang pejabat cukup turun ke lapangan hyanya mengenakan kemeja putih celana gelap dengan sepatu apa adanya, tapi setelah itu berbagai dampak dirasakan ketimbang si pejabat disambut dengan meriah bersama umbul-umbul dan simbol pakaian adat lengkap dengan ikat kepala, tapi seusai acara, tidak ada yang berubah.

Bersimbol ria itu, selain tak ada manfaatnya kepada kehidupan 270 juta rakyat Indonesia, juga merupakan kegiatan pemborosan. Pasalnya, bersimbol ria harus dipoles sana sini biar kelihatannya “bekerja” padahal abal-abal, panggung harus disiapkan aduhai, tenda sekeliling tampat acara juga dipercantik, kata-kata juga disiapkan seindah mungkin didengar dan makanan yang dihidangkan juga tidak ketinggalan, dicari menu yang lebih berkelas.

Saat ini di Jakarta juga sedang heboh-hebohnya bicara dan membangun simbol. Sebut saja simbol para pesepeda dimana Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sedang mempersiapkan patung sepeda.

Namun tidak kurang dari komunitas pesepeda Brompton Owner Kelapa Gading dan Sekitarnya (BOGAS) mengkritik pembangungan Tugu Sepeda di Jakarta. Mereka dari komunitas kurang setuju karena momennya kurang tepat. Walaupun anggaran dari swasta, namun akan lebih baik bila dana itu dialihkan penggunaannya dialihkan untuk menata jalur sepeda permanen yang masih banyak kekurangan.

Kira-kira demikian yag diucapkan Ketua BOGAS Chriswanto saat dihubungi, Sabtu (10/4/2021).

Diberi contoh ibarat cat jalur sepeda, perbaikan gorong-gorong penutup yang berbahaya bagi pesepeda. Para pesepeda merasa urgensi tugu tersebut belum ada. Karena itu mereka berharap Pemprov DKI Jakarta menambah jalur permanen sepeda demi keamanan dan kenyamanan saat gowes.

Demikian juga dalam memperkenalkan obyek wisata di tanah air tercinta ini. Para pihak yang berkepentingan dan dipercaya mengelola obyek wisata, bekerjalah tanpa sibuk dengan simbol-simbol. Lakukankah apa yang terpenting selain bersimbolisasi, semisal memperbaiki pelayanan para pekerja wisata di masing-masing obyek wisata.

Tingkat kemampuan para pekerja wisata dalam melayani para tamu, mbok ya disempurnakan. Jangan biarkan mereka terbata-bata melayani para wisatawan lokal apalagi yang datang dari mancanegara. Lengkapi pengetahuan mereka membuat betah para wisatawan untuk tinggal berlama-lama di obyek wisata tersebut. (penulis adalah wartawan tinggal di Jakarta)

 

 

CATEGORIES
TAGS