Pemangkasan APBN-P 2016 yang Ketiga Kali Sebuah Pelajaran

Loading

potong-anggaran-300x224.jpg

Oleh: Fauzi Aziz

 

ABPN sebagai instrumen kebijakan fiskal sedang mengalami proses konsolidasi untuk menuju ke posturnya yang lebih kredibel dan realistik. Inilah kebijakan yang diambil pemerintah melakukan pemangkasan APBN-P 2016 sebesar Rp 133 triliun, tanpa harus mengganggu pengeluaran pembelajaan dan pembiayaan sektor-sektor prioritas nasional.

Kebijakan money follow progam adalah benar adanya. Namun perlu diingat bahwa progam-progam yang bertaburan di berbagai K/L sejatinya tetap menginduk pada money follow function. Hal ini bisa dilihat bahwa progam di setiap K/L nomen klaturnya muncul di masing-masing setiap satker eselon-1 yang muncul disesuaikan dengan tupoksinya.

Postur ini yang perlu mendapat perhatian Bappenas untuk melakukan penataan ulang di seluruh K/L. Pangkal masalah timbulnya “pembengkakan pos pembelanjaaan dan pembiayaan pemerintah lahir akibat progamnya jumlah ribuan dan apalagi kegiatannya bisa mencapai puluhan ribu. Yang pasti, dengan postur anggaran semacam itu koordinasi dan sinkronisasinya di masing-masing K/L tidak bisa dijamin, apalagi yang bersifat lintas K/L atau lintas wilayah.

Fenomena ini memberikan keyakinan bahwa tata kelola money follow progam tetap memerlukan penataan ulang secara menyeluruh jika kita hendak mewujudkan pelaksanaan kebijakan fiskal yang berkualitas dan memungkinkan bertambahnya ruang fiskal untuk membiayai proyek- proyek insfrastruktur dan investasi pemerintah di berbagai sektor prioritas nasional di luar infrastruktur.

Para menteri sebaiknya dapat membaca sendiri jenis-jenis kegiatan yang ada di setiap progam di K/L nya masing-masing. Menteri pasti takjub melihatnya. Sederet pertanyaan pasti akan muncul atas berbagai kegiatan dan pasti bingung melihat sederetan kegiatan yang ada di setiap progam.

Ada yang mudah difahami, ada pula yang amat sulit dimengerti.

Dan postur ini akan muncul lagi di tahun anggaran berikut. Apa yang kita tarik dari fenomena gunung es pada kebijakan fiskal. Pertama, kalau dibaca secara makro kebijakan fiskal sepertinya tidak ada masalah karena landasan konsep penyusunannya selalu disesuaikan dengan asumsi- asumsi makro yang disepakati bersama antara pemerintah dan DPR.

Tetapi kalau ditelaah secara mikro, akan terlihat yang ideal secara makro, tidak ideal di level mikro pada saat dilaksanakan. Kondisi umum yang mudah diamati adalah, koordinasi dan sinkronisasi lemah. Kegiatan yang bersifat business as usual bertaburan dimana-mana dan semua terjadi akibat perencanaan kegiatan tahunan dibuat “asal-asalan”.

Kedua, yang terjadi dengan pelaksanaan APBN selama ini adalah “pemborosan” akibat banyak kegiatan yang lebih besar membelanjakan uangnya yang bersifat konsum tif ketimbang yang produktif.

Artinya, pos-pos untuk keperluan belanja jumlahnya lebih besar untuk mendukung pembiayaan, khususnya yang terkait dengan pembiayaan infrastruktur dan investasi pemerintah, baik yang bersifat langsung maupun tidak.

Karena itu, sangat bisa dimengerti bila kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap PDB rata-rata hanya berada pada kisaran 8-9% per tahun. Akibatnya dampak  terhadap Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) nyaris tak nampak, sehingga sumbangan PMTB tiap tahun terhadap PDB tidak mengalami perubahan, yakni sekitar 30%.

Ini pertanda bahwa investasi yang sumber dananya berasal dari APBN maupun swasta belum mampu mendongkrak porsi investasi pisik ke pembentukan PDB ekonomi.

Idealnya harus bisa mencapai 40% sumbangan investasi fisik terhadap PDB. Kalau dilihat penyebabnya sudah bisa ditebak, yakni APBN masih bersifat konsumtif dan lambannya realisasi investasi fisik di sektor riil melalui investasi swasta masih wait and see. Ini dapat dilihat dari persetujuan prinsip yang dikeluarkan BKPM yang hanya mencapai sekitar 30% dapat direalisasikan secara komersial.

Ketiga, defisit anggaran terjadi tidak sekedar karena faktor pendapatan yang berkurang akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi. Tapi  juga karena faktor pembelajaan yang boros. Jika pengelolaan APBN tidak boros harusnya defisit anggaran tidak perlu.

Kalaupun harus defisit mestinya bisa dibawah 2%, meskipun berdasarkan ketentuan dalam UU nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara angka defisitnya masih diperkenankan sampai batas maksimum 3% dari PDB.

Pelajaran yang dapat kita petik dari hal-hal yang disampaikan ini ada dua pekerjaan besar yang harus dilakukan pemerin tah dan DPR, yakni bagaiamana mewujudkan kebijakan fiskal yang berkualitas agar bisa memberikan stimulus ekonomi maksimal dan mampu memitigasi ketika terkena pengaruh gejolak eksternal.

Berikutnya, Bappenas harus melakukan penataan progam K/L dan para menteri teknisnya harus bisa mencermati kegiatan yang akan dilaksanakan masing-masing unit satkernya. Secara keseluruhan berarti kita masih melihat tata kelola kebijakan fiskal perlu mendapat perhatian segera baik oleh pemerintah maupun DPR. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS