Oleh: Edi Siswoyo
ilustrasi
KATA “serentak” sering digunakan untuk menggambarkan suatu kerja yang dilaksanakan secara bersama-sama dalam waktu yang sama. Kosa kata itu belakangan ini mendadak menjadi popular karena dikaitkan dengan pemilihan umum (pemilu). Popularitas pemilu serentak membuat kata “serentak” diduga sebagai nama suatu lembaga perwakilan seperti kata “legislatif” dan “presiden/wakil presiden”.
“Serentak” dalam istilah pemilu serentak mempunyai arti sebagai penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden/wakil presiden (pilpres) yang kita kenal selama ini. Penggabungan pelaksanaan kedua pemilu tersebut sebagai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Maka, melalui kewenangannya Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan hubungan antara sistem pemilihan dan rancang bangun sistem pemerintahan presidensial dan dilihat dari segi original intent, penafsiran sistematik maupun gramatikal, memutuskan kedua pemilu tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
MK dalam sidang yang dipimpin ketuanya Hamdan Zoelva, pekan lalu, membacakan keputusan yang menggabungkan pileg dan pilpres menjadi satu pemilu yang dilaksanakan serentak mulai pemilu tahun 2019.
Keputusan tersebut sebagai tindak lanjut dari permohonan Efendi Gozali, koordinator Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Sebagian dari permohonan itu dikabulkan yaitu ketentuan Pasal 3 Ayat 5, Pasal 12 Ayat 1 dan 2, Pasal 14 Ayat 2 dan Pasal 112 Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden.
Namun, MK menolak membatalkan Pasal 9 yang mengatur presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. MK menyerahkan hal tersebut kepada pembentuk undang-undang–DPR dan presiden–untuk mengaturnya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan tersebut disambut baik sebagai sejarah baru bangsa Indonesia. Berbagai kalangan di masyarakat bisa mengerti dan memahami alasan konstitusioanl pembatalan kedua pemilu tersebut. Tetapi, sulit untuk bisa mengerti dan memahami pelaksanaan pemilu serentak mulai pemilu tahun 2019, Tak perlu heran, dalam sejumlah kasus hukum, penegakkan hukum di Indonesia masih bengkak-bengkok termasuk keputusan MK yang memutusakn dan menetapkan pelaksanaan pemilu serentak muali pemilu tahun 2019.
Aroma politik transaksional dalam penundaan tersebut terasa menyengat dengan kentalnya aroma kepentingan–partai politik–politik dari pada kepentingan konstitusioanal. Tentu, penundaan itu bisa dilepaskan dari kepentingan sejumlah partai politik besar yang tetap menginginkan berlangsungnya pileg dan pilpres dalam pemilu 2014.
Memang, tidak banyak yang bisa kita katakan saat berhadapan dengan realitas politik yang abu-abu di dalam hitam – putih hukum di Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum! ***