Pemimpin Kalau Ngomong Jangan Asal Njeplak Dong….

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

KALIMAT yang menjadi judul opini ini sering kita dengar dalam pergaulan keseharian. Hal ini memberikan isyarat bahwa siapapun orangnya, apalagi pemimpin, wajib diwanti-wanti agar dalam bertutur kata hendaknya berhati-hati, jangan sampai salah ucap dan menimbulkan ketersinggungan berat bagi lawan bicaranya sebab bisa berakibat fatal bukan?

Orang bijak berucap bahwa mulutmu harimau bagimu dan dikatakan lagi sebelum bicara, sebaiknya kita jilat bibir dulu yang artinya, pikir dulu resiko baru ngomong. Sekali lagi jangan asal njeplak.

Maka dari itu, orang tua kita memberikan pelajaran budi pekerti kepada anak-anaknya agar selalu bersikap santun dan bertutur kata yang baik dalam berinteraksi dengan sesamanya. Apalagi ucapan dan tutur kata dari orang-orang terpandang yang menyandang berbagai gelar pendidikan yang tinggi, meduduki jabatan strategis di lembaga tinggi negara, semestinya segala ucapan dan tutur katanya harus santun dan terukur.

Ucapan dan tutur kata yang keluar dari mulutnya adalah mencerminkan kualitas kepribadian dari yang berucap. Nah, kalau ucapan tadi keluar dari mulut orang terpandang di negeri ini juga akan menunjukkan pula kualitas dan karakter dari yang bersangkutan tentang kedewasaan dan kematangannya sebagai seorang pemimpin.

Sering berucap asal njeplak tanpa pernah dipikir lebih dahulu dengan akal sehatnya dan keluar dari mulut para pemimpin seharusnya tidak boleh terjadi. Ini sangat disayangkan dan amat merugikan, lebih khusus kepada sang pemimpin yang asal njeplak itu sendiri. Pemimpin tidak bisa lagi menjadi tukang kompor, tukang gosok, berucap seenaknya yang bisa menimbulkan kegaduhan dan keresahan.

Pemimpin yang baik dan bijaksana adalah sosok yang selalu memberikan kesejukan, kedamaian dan ketentraman bagi segenap warganya tanpa pandang bulu. Ucapan dan tutur kata para pemimpin formal di negeri ini tidak patut dan tidak elok dan amat memilukan kalau isinya membingungkan dan mengandung “hasutan” yang bisa menimbulkan persoalan SARA.

Seharusnya mereka para pemimpin itu sekitar 90% di pundaknya melekat tanggungjawab untuk menyelesaikan berbagai ragam masalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negeri ini. Bukan malah sebaliknya ucapan dan perbuatan para pemimpin malah menjadi bagian inheren dari masalah itu sendiri.

Pemimpin itu bak seorang guru, ustad, pendeta dan biksu yang selalu mengajarkan tentang kebaikan dan kemuliaan. Pemimpin itu bak seorang motivator dan inspirator yang bisa membawa warganya untuk selalu berfikir positif dan konstruktif agar warganya menjadi manusia-manusia yang baik dan produktif untuk diajak membangun bangsa dan negaranya.

Para pemimpin formal sebagai para penyelenggara negara dan sekaligus sebagai pejabat publik, tugas utamanya adalah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kepada rakyat tentang kebijakan publik yang ditetapkannya agar proses law and order berjalan dengan baik bukan malah membuat macet jalannya proses law and order.

Tidak boleh menambah atau mengurangi dan bahkan memanipulasi dalam memberikan penjelesan atas kebijakan publik yang telah digariskan dalam berbagai bentuk peraturan perundangan.

Kalau menyimpang dari garis kebijakan yang telah ditetapkan, maka ucapan pejabat negara yang notabene adalah pejabat publik, bisa dianggap “menyesatkan” karena menyimpang dari regulasi yang ada.

Apalagi nada ucapannya bernilai SARA seperti akhir-akhir ini kita dengar dalam kaitan dengan jelang Pilgub DKI putaran kedua. Oleh karena itu, kepada para pemimpin di negeri ini, kita titipkan pesan agar jadilah pemimpin yang baik, paham dan mengerti aturan main.

Dan karena itu pula agar berhati-hati dalam bertutur kata. Jangan asal njeplak kalau berucap nanti reputasi anda bukan tambah baik tapi malah menjadi tambah buruk. Bahkan salah-salah bisa di bilang pemimpin seperti burung beo dan kalau ngomong tak pernah pakai dipikir dulu.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS