Pengangguran

Loading

Oleh : Edi Siswoyo

Ilustrasi

Ilustrasi

SEJARAH mencatat Revolusi Industri sebagai cikal bakal lahirnya semangat berdirinya pabrik-pabrik di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia. Pabrik menghasilkan buruh dengan upah rendah dan kerja keras untuk menghasilkan barang dan keuntungan bagi pemilik modal. Buruh butuh makan, pabrik juga butuh makan. Pabrik butuh bahan mentah untuk diolah menjadi barang produk. Pemilik modal butuh pasar untuk menjual barang produk dan mendapatkan keuntungan.

Tercatat juga dalam sejarah, semangat itu telah melahirkan “anak nakal”–imperialisme–yang mengeruk bahan mentah di negara-negara kaya sumber daya alam seperti Indonesia. Kekayaan itu dijadikan sumber bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan pabrik. Jumlah penduduk Indonesia yang banyak juga dimanfaatkan sebagai konsumen untuk mendapatkan keuntungan.

Hanya itu yang dicatat oleh sejarah, tentu saja tidak. Pabrik-pabrik telah memberikan lapangan pekerjaan bagi penduduk Indonesia. Jadi, penduduk Indonesia tidak ada yang menganggur? Lihat saja, Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang dewasa Indonesia di kolom baris “pekerjaan” tidak ada yang ditulis pengangguran. Entah karena apa, boleh jadi malu disebut penganggur dan takut dianggap melecehkan pemerintah.

Bagaimana dengan pembantu rumah tangga? Pembantu rumah tangga itu jenis pekerjaan yang penting. Urusan negara bisa terganggu kalau pembantu di rumah mogok tidak mau bekerja atau pulang kampung berlebaran. Tapi, hampir bisa dipastikan KTP para pembantu rumah tangga tidak ada yang menulis “pembantu rumah tangga” di kolom baris “pekerjaan”.

Mungkin sikap itu ada hubungannya dengan pasal 27 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi : setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pengangur, buruh, pembantu rumah tangga membutuhkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal dalam konstitusi itu bukan warisan sejarah yang indah untuk dilihat dan dibaca, tapi harus diwujudkan secara nyata sehingga tidak ada pengangguran yang ongkang-ongkang kaki. Tidak ada buruh yang kurus dan mukanya pucat. Tidak ada pembantu rumah tangga yang diperlakukan seenak perut majikan sebagai “budak”.

Warga negara Indonesia tersebut membutuhkan pengaturan secara tertulis tentang hak dan kewajiban untuk bisa mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Memang, sejarah tidak boleh dilupakan. Sejarah harus diingat dan dipelajari. Sebagai pelaku sejarah kita tidak boleh lupa melakukan yang baik untuk dicatat dalam sejarah! Mau? ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS