Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga di Tengah FTA 2015

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

TAHUN lalu, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam PDB tumbuh 5,38 persen, yang pada tahun sebelumnya yaitu 2011 tumbuh 4,71 persen. Total nilainya adalah 54,56 persen atau sekitar Rp 4.496,4 triliun.

Nampaknya peran dan kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga ini di tahun-tahun mendatang relatif akan terus tetap tinggi sebagai salah satu faktor pembentuk PDB. Tahun 2014 ada dua versi perkiraan pertumbuhan ekonomi, yakni versi Kemenkeu akan tumbuh 6,3-6,8 persen dan versi Bappenas 6,4 – 6,9 persen.

Ekonomi Indonesia bersifat terbuka dan termasuk salah satu negara yang paling liberal setelah mengkuti Structural Adjusment Progams (SAP ) IMF pasca krisis ekonomi 1998. Tanpa FTA, sejatinyanya Indonesia telah membuka diri lebar-lebar dalam perdagangan internasional.

Tapi di lain pihak, liberalisasi yang dijalankankan ternyata tidak berhasil meningkatkan daya saing perekonomian nasionalnya akibat pasar dalam negeri sebagian besar diisi oleh barang impor. Dari angka agregat PDB tahun 2012, sumbangan impor adalah 25,81% atau sekitar Rp 2.127,5 triliun.

Ratio terhadap pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga adalah 0,47. Artinya sekitar 47% pengeluaran belanja konsumsi rumahtangga dipenuhi dari barang impor. Sementara itu, ratio antara komponen investasi langsung terhadap ekspor adalah 1,36, artinya total investasi langsung dalam PDB hanya menyumbang komponen ekspor 36%.

Ratio ini memberikan gambaran bahwa di dalam negeri seperti telah disinggung di depan memang ada problem rentannya daya saing. Mengutip Kompas (8 April 2013), neraca perdagangan Indonesia dengan negara Asean sebagian besar mengalami defisit. Dengan Brunei, defisit US$281,7 juta; Malaysia defisit US$511,3 juta; Indonesia – Singapura defisit US$707,9 juta; Thailand defisit 721,4 juta dan dengan Vietnam defisit US$157,5 juta.

Neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus dengan Kamboja US$233,9 juta; Laos surplus US$ 17,9 juta; dan dengan Myanmar surplus US$ 238,6 juta, serta dengan Filipina sebesar US$248,55 juta.

Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga tentu akan menjadi daya tarik tersendiri tatkala Asean FTA dimulai tahun 2015. Indonesia pasti akan dilirik negara Asean lain dan juga China dalam rangka Asean-China FTA dan Asean-Korsel serta kerjasama dan investasi dengan negara lain, yakni untuk tujuan pasar dan investasi.

Melihat data agregat tadi memang cukup memprihatinkan karena potensi ancamannya memang ada, namun peluangnya juga besar bagi investor global untuk menamkan modalnya di Indonesia, khususnya di sektor produktif seperti industri manufaktur. Tapi tidak sedikit pula yang investasinya hanya di sektor infrastruktur pemasaran, sehingga banyaknya perusahaan yang membangun property di bidang pergudangan dapat menjadi indikator bahwa mereka hadir untuk sekedar memanfaatkan pasar dalam negeri yang besar.

Apapun perkembangannya, realitas yang ada posisinya seperti itu, yaitu daya saingnya rendah, tapi pasar dalam negerinya cukup besar. Dari sekitar 700 juta penduduk di Asean, sepertiganya ada di Indonesia. Kita tidak boleh pesimis karena peluangnya besar yang dapat dimanfaatkan, tetapi kita juga harus bisa menyelesaikan segala hal yang masih menjadi kendala untuk berinvestasi.

Investasi langsung fisik/PMTB dalam pembentukan PDB harus lebih besar (35-40%) kontribusinya dari yang sekarang, yakni sekitar 33% agar memiliki levereging yang besar untuk menyumbang ekspor.

Dalam FTA, Indonesia harus mendapat nilai tambah dalam dua komponen penyumbang PDB, yakni investasi dan ekspor, serta mengelola agar pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah menyerap produksi nasional 50% lebih dari kapasitas produksi nasionalnya karena dalam FTA, nyaris tidak mungkin impor dapat dihambat.

Jadi secara realistis diskusi kita di dalam negeri, sebaiknya tidak membahas soal ancaman yang menyita waktu banyak, tetapi lebih baik diskusi dan bekerjasama mengatasi berbagai hambatan investasi dan tidak membuat kebijakan nasional dan lokal/daerah yang berpotensi menimbulkan distorsi pasar. Tahun 2016 akhir kita lakukan evaluasi apa yang terjadi setelah satu tahun FTA Asean berjalan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS