Penumpang Naik Atap KRL, Buah Simalakama

Loading

Oleh: Anthon P. Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

PEKAN lalu sudah mulai dipasang papan penghalang bermuatan listrik di Stasiun Kali Bata untuk mencegah penumpang yang naik atap kereta api listrik (KRL). Banyak penumpang KRL naik atap karena tidak kebagian tempat di dalam gerbong. Tidak semuanya mereka nakal, atau dicurigai menghindar untuk membayar ongkos.

Banyak yang terpaksa karena tidak ada pilihan, khususnya bagi kaum pekerja serabutan. Sesungguhnya, mereka hanya ingin cepat sampai ke tujuan dengan alat angkut yang pas. Artinya, pas di ongkos dan pas pula di jalur trayek yang dekat dengan tujuan. Persyaratan itu hanya dipenuhi oleh KRL sebagai angkutan massal yang merakyat.

Bagi penumpang seperti inilah, penertiban yang gencar dilakukan pihak KA akhir-akhir ini bagai buah simalakama. Mau menunggu gerbong yang kosong adalah mustahil. Sedangkan bila nekat ke atap, selain bisa terkena palang bermuatan listrik, juga akan terkena tindak pidana ringan.

Alasan pengelola KA untuk keselamatan penumpang tampaknya kurang bisa diterima. Faktor keselamatan pada kondisi alat transportasi yang belum cukup akhir-akhir ini, bagi penumpang KRL merupakan urutan kedua, dan bahkan ketiga. Urutan pertama, bagaimana bisa cepat sampai ke tujuan. Urutan kedua, alat angkut yang mana yang ongkosnya lebih murah.

Sehingga, catatan PT KAI bahwa rata-rata tiga orang per bulan meninggal karena tersengat listrik saat berada di atap KRL, dianggap sebagai musibah, bahkan diterima sebagai takdir. Bahaya tesengat listrik ini tidak membuat penumpang KRL menjadi jera, apalagi hanya disemprot dengan zat pewarna. Selama tidak ada alternatif pilihan, dilema ini terus terjadi.

Jadi, untuk memecahkan persoalan ini, seharusnya Pemerintah, khusunya PT Kereta Api Indonesia (KAI) harus menambah KRL atau paling tidak menambah jumlah gerbong dalam satu rangkaian perjalanan. PT KAI sebagai badan usaha milik negara (BUMN) sudah tentu harus pro rakyat, dan memang adalah kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Disambar palang berlistrik, disemprot cat atau diseret ke pengadilan tindak pidana ringan, adalah suatu tindakan yang kurang etis bagi penumpang golongan bawah yang butuh angkutan cepat dan murah ini.

Seorang pekerja asal Depok, sebutlah namanya Sarwono (37) yang hendak menuju Tanah Abang, yang tertangkap petugas Polisi Khusus KA yang merazia di Stasiun Pasar Minggu, bulan lalu mengatakan, ia terpaksa naik atap KRL, karena di dalam gerbong sudah berjejal-jejal, mau pegangan di pintu saja pun tak bisa lagi.

Sedikitnya 46 orang rekan Sarwono pada waktu itu ditangkap Poluska karena duduk di atas atap, bergelantungan di pintu, berdiri di antara gerbong atau sekitar lokomotif. Mereka kemudian menjalani sidang kilat di tempat, yang melibatkan pihak Kejaksaan dan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka rata-rata dijatuhi hukuman membayar denda Rp 21.000. Kepala Stasiun Pasar Minggu, Darmin, mengakui bahwa sanksi itu dimaksudkan untuk pembelajaran.

Memang, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang perkeretaapian, khususnya Pasal 207, setiap orang yang tanpa hak berada di kabin masinis, di atap kereta, di lokomotif, di gerbong, atau di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang, bisa dipidana penjara paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak Rp 15.000.000.

Namun, hukum ini efektif ditegakkan bila fasilitas angkutan memadai.

Sudah menjadi pemandangan rutin, bahwa KRL dari Bogor, dari Bekasi, maupun dari Serpong atau Rangkasbitung menuju Jakarta dan sebaliknya, selalu padat penumpang setiap hari, terutama pada saat berangkat kerja pagi hari dan pulang kerja sore hari.

Tidak hanya dipadati pekerja, pelajar dan mahasiswa, tetapi juga para pedagang atau penjual jasa lainnya. Kondisinya betul-betul memprihatinkan dan dapat dipandang sebagai kurang manusiawi, padahal kita sudah merdeka 65 tahun. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS