Perestroika

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

DI antara kita tentu belum lupa dari ingatan tentang istilah Perestroika. Pada tahun 1985, Mikail Gorbachev menjadi pemimpin baru di Uni Sovyet. Dia salah satu sosok pemimpin dunia yang cinta damai. Jelang akhir kepemimpinannya, dia menjalankan progam Perestroika, yakni gerakan perbaikan politik, sosial dan ekonomi yang dibangun berdasarkan landasan filosofis baru yang dia sebut Glasnot kira-kira bermakna keterbukaan.

Inilah salah satu catatan sejarah yang bisa kita kenali di sepanjang peradaban manusia. Rekam jejak perjalanan sejarah tentang negara dan bangsa, patut kita telusuri dan perlu dikaji agar kita dapat memahami makna yang tersurat dan tersirat dari setiap peristiwa kemanusiaan dan kenegaraan yang terjadi.

Perestroika dan glasnot dalam satu dasawarsa lebih, juag terjadi di negeri ini, dimana pada tahun 1998 bangsa Indonesia menjalankan progam reformasi. Esensinya kurang lebih sama yaitu perbaikan dalam kehidupan politik, sosial, hukum dan ekonomi berlandaskan pada semangat demokratis yaitu keterbukaan.

Makna yang lebih universal adalah agar bangsa ini dapat menatap masa depannya menjadi lebih baik. Cinta damai dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, kebersamaan, saling menghargai, saling melindungi dan tidak saling mengeksploitasi. Bersyukur kita memiliki landasan filosofis yang sangat kuat yaitu Pancasila.

Landasan utamanya adalah berke-Tuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan dan keadilan sosial. Sampai kapanpun landasan ini rasanya tak akan pernah lapuk di sepanjang zaman dan bisa berlaku secara universal.

Fitroh manusia yang cinta damai adalah tepat jika memegang teguh landasan filosofis yang seperti itu. Kerjasama antar negara di dunia kalau berpegang kepada landasan filosofis yang seperti itu, yakinlah segala bentuk penjajahan di bumi, tidak akan terjadi, minimal dapat dikendalikan dan bisa dicegah.

Apakah perestroika atau reformasi namanya perlu digaris bawahi bahwa sesungguhnya apa yang tersurat belum tentu dapat dijalankan sesuai dengan landasan yang bersifat filosofis tadi. Apalagi melaksanakannya sebagaimana yang tersirat. Buktinya, negeri ini yang telah melaksanakan progam reformasi belum menampakkan tanda-tanda keberhasilan sebagaimana kehendak dan target progam reformasi yang dijalankan.

Di bidang politik, kita baru bisa melihat perbaikan di tataran formalnya saja secara kelembagaan. Prakteknya, cara berpolitik bangsa ini belum sepenuhnya sesuai dengan doktrin Pancasila. Baru pada tahap tahu tetapi belum mengetahui tafsirnya dan apalagi mengamalkannya. Belum bisa bersikap konsekwen dan konsisten sehingga kalau ada problem politik, baik di tingkat pusat dan daerah, yang muncul kepermukaan adalah transaksional.

Di bidang sosial juga demikian. Konflik sosial dan agraria terjadi dimana-mana. Di bidang hukum, kondisinya parah. Di bidang ekonomi, rasanya belum menjalankan prinsip kehidupan ekonomi sesuai perintah konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945.

Reformasi birokrasi berjalan tanpa konsep yang jelas dan tegas dengan roadmap yang bisa difahami oleh semua pihak. Kalau demikian kondisinya, maka tidaklah salah kalau bangsa ini perlu melakukan gerakan reformasi baru jilid kedua tanpa harus ribut-ribut hendak berniat mengganti kepemimpinan nasional dengan cara yang bertentangan dengan konstitusi.

Tujuannya hanya satu, yaitu menata kembali sistem agar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik dan sehat sebagai bangsa yang bermartabat dan beradab. Yang penting adalah bahwa reformasi yang akan dilakukan pendekatannya harus komprehensif, tidak dipaksakan dan dilakukan atas kehendak kita sendiri untuk bisa menjawab dan menyelesaikan berbagai masalah nasional maupun daerah.

Pendekatannya adalah berdasarkan kebutuhan untuk bisa menjadi bangsa yang bermartabat dan beradab, bukan hanya sekedar menjawab kebutuhan sesaat berdasarkan kepentingan golongan tertentu atau bahkan kepentingan pihak asing. Reformasi atau perestroika ala Indonesia yang baru, harus mengakomodasi nilai-nilai spiritualitas, emosional dan intelektualitas masyarakat yang mampu menghasilkan sistem infrastruktur kehidupan masyarakat untuk membangun masa depannya.

Dengan demikian,nilai-nilai yang ada dalam agama dan adat istiadat, suka tidak suka, harus diakomodasi. Dan ini sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila. Jangan sampai terjadi di negeri ini landasan untuk membangun masa depan bangsa dan negaranya dikatakan sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tapi kenyataannya melenceng dan malah menganut doktrin yang lain yaitu liberalisme dan kapitalisme yang lebih menghormati hak-hak individu ketimbang hak-hak komunalitas.

Kalau mau jujur, secara faktual negeri ini telah mengalami gradasi terhadap pemaknaan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, dengan kepala dingin dan pikiran yang sehat, mari kita tata kembali sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan cara yang lebih tepat, lebih baik dan lebih bertanggung jawab demi masa depan kita semua.

Yang salah harus diperbaiki, yang sudah baik harus kita rawat dan yang belum sempat kita ciptakan harus diinisiasi untuk kita buat agar bangsa ini memiliki koridor kehidupan yang batas-batasnya jelas, baik secara filosofis maupun konstitusi.

Karena itu pula sistem demokrasi yang kita kembangkan bukan yang liberal, tapi demokrasi Pancasila. Inilah makanya negeri ini perlu melakukan reformasi jilid kedua dengan tema besar agar Indonesia menjadi negara yang berdaulat, tidak lagi mudah didikte bangsa lain di dunia, siapapun mereka. Mau didikte, berarti kita rela dijajah. ***

CATEGORIES
TAGS