Permintaan Parlemen Korsel

Loading

Oleh: Enderson Tambunan

Enderson Tambunan

Enderson Tambunan

PARLEMEN Korea Selatan meminta Indonesia menyampaikan “pesan” negara itu ke tetangga dekatnya, Korea Utara. Pesan itu berupa permintaan agar Korut segera menghentikan provokasi nuklir dan menaati peraturan internasional, sebagai upaya menuntaskan krisis Semenanjung Korea, yang memanas belakangan ini.

Seperti diberitakan media massa di Jakarta, pekan lalu, Ketua Parlemen Korsel, Park Byeong Seug, setelah mengikuti seminar memperingati 40 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Korea Selatan di Jakarta, Kamis (16/5/13), meminta Indonesia berkomunikasi dengan Korut dan menyampaikan pesan untuk menghentikan program nuklir dan menaati peraturan internasional. Jika kedua syarat itu dipenuhi, maka krisis di semenanjung dapat berakhir.

Selain itu, Indonesia diharapkan menggalang suara dari Asia Tenggara untuk ikut mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea. Ia menghargai pembahasan krisis Semenanjung Korea pada temu puncak ASEAN, beberapa waktu lalu, dan mengharapkan bantuan lain untuk mengakhiri konflik tersebut. Keiikutsertaan ASEAN dalam mengakhiri krisis di Semenanjung Korea diminta, karena dalam organisasi itu terdapat Forum Regional ASEAN (ARF), yang melibatkan Korsel dan Korut.

Menanggapi permintaan itu, Peneliti Pusat Kajian Strategis and Studi Internasional (CSIS), Rizal Sukma, mengatakan, ARF masih sulit untuk mewujudkan penyelesaian konflik antara kedua negara tersebut, karena krisis itu dipengaruhi oleh kekuatan besar, seperti Amerika Serikat, China, dan Jepang.

Menurut Rizal Sukma, di sela-sela seminar memperingati hubungan diplomatik Indonesia-Korea Selatan, meskipun demikian, peran ARF tidak dapat diremehkan, mengingat pertemuan dapat memberikan kemajuan dalam penyelesaian permasalahan di kawasan dan global. ARF hanya sideline, tidak punya kapasitas untuk masalah itu, apalagi jika mempersoalkan masalah nuklir, namun ARF dapat memberikan tempat, di mana kedua negara (Korsel dan Korut) dapat bertemu.

Sementara itu, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Indonesia, Yuri O Thamrin, mengatakan, Indonesia sebagai anggota ASEAN dapat menjembatani komunikasi antara dua negara Korea, karena hubungan baik dengan masing-masing negara.

Peluru Kendali

Semenanjung Korea memang belum “sepi” dari masalah yang dinilai kedua Korea sebagai penyebab mamanasnya situasi. Misalnya, latihan bersama militer Korsel dan AS dinilai Korut sebagai provokasi ke arah perang. Pada sisi lain, uji coba nuklir Korut dan pernyataan-pernyataan kerasnya dinilai Korsel sebagai provokasi.

Dalam perkembangan lain, Korea Utara meluncurkan tiga peluru kendali jarak pendek ke Laut Jepang, sebagai bagian dari latihan militer, Sabtu (18/5). Isu peluncuran ketiga rudal itu disiarkan oleh Kementerian Pertahanan Korea Selatan. Korea Utara meluncurkan dua rudal pada pagi hari dan satu lagi sore hari,” kata juru bicara Kementerian Pertahanan Korsel, kepada AFP, seperti dikutip dari antaranews.com. Rudal-rudal itu mendarat di Laut Jepang.

Terkait dengan itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, dalam lawatan di Moskwa, Minggu (29/5), menyampaikan harapan agar Korea Utara menghindari pengujian rudal pada masa yang akan datang.

Sebelumnya, ketegangan di Semenanjung Korea meningkat setelah uji coba nuklir ketiga Korea Utara pada Februari 2013 serta saat Amerika Serikat dan Korsel menggelar latihan militer bersama, yang ditanggapi Korut sebagai ancaman perang. Korut juga menolak perundingan dengan Korsel terkait penutupan kawasan industri bersama, Kaesong, dan beberapa kali mengecam keras keterlibatan AS dalam kegiatan militer Korea Selatan. Kawasan industri Kaesong, yang terletak di wilayah Korut, ditempati oleh lebih dari seratus perusahaan Korsel dan mempekerjaan ribuan warga Korut.

Kawasan ini sering disebut sebagai “batu pijakan” kedua negara untuk membicarakan rekonsiliasi dan reunifikasi.
Penyelesaian konflik kedua Korea, yang muncul ke permukaan setelah Perang Korea pada 1950-1953, menjadi “pekerjaan rumah” bagi banyak negara dan PBB, termasuk ASEAN sebagai komunitas regional yang dekat dengan Semenanjung Korea.

Maka, permintaan parlemen Korsel agar Indonesia, dan tentunya ASEAN, ambil bagian dalam upaya mengakhiri krisis Semenanjung Korea, hendaknya juga dilihat sebagai pengakuan akan kemampuan Indonesia dan ASEAN menjalankan diplomasi tingkat tinggi untuk memecahkan masalah eksternal itu.

ASEAN dengan 10 negara anggota: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Myanmar, memang “kenyang” dengan masalah dalam dan luar negeri. Banyak tokoh dari ASEAN yang sukses menjalankan peran sebagai diplomat senior internasional. Lebih dari itu, ASEAN dengan berbagai lembaganya, seperti ARF, aktif bertemu, membicarakan agenda, yang menjadi kesepakatan bersama.

Maka, kita berharap ASEAN menjadikan pesan parlemen Korsel itu sebagai salah satu agenda utama, yang dijalankan dari waktu ke waktu. Memang, banyak masalah lain, terutama menyangkut teritorial, seperti Laut China Selatan, yang juga penting diselesaikan secepatnya, membutuhkan ekstra perhatian. Tapi, dengan memblok pesan parlemen Korsel itu sebagai agenda utama, kita optimistis ketegangan di Semenanjung Korea secara gradual akan melemah. Memfasilitasi pertemuan antara perunding kedua Korea menjadi salah satu upaya yang dapat diperankan Indonesia dan ASEAN. Tapi, yang utama, tentu, kedua Negara, mesti tulus mengirimkan tim perundingnya, mengikuti agenda Indonesia dan ASEAN. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS