Site icon TubasMedia.com

Pertamina Mencari Minyak ke Luar Negeri

Loading

ender1.jpg2

Oleh: Enderson Tambunan

 

PENTINGNYA mewujudkan kedaulatan atau kemandirian energi di tengah menipisnya cadangan dan produksi minyak dan gas bumi kita, disuarakan oleh berbagai kalangan belakangan ini. Sebab hanya dengan cara itu  Indonesia dapat terhindar dari krisis migas.

Harapan itu diyakini dapat dicapai dengan memberikan lebih banyak kesempatan dan kepercayaan kepada PT Pertamina (Persero) untuk mengembangkan sayapnya, baik di dalam maupun luar negeri.

Berdasarkan data, cadangan minyak Indonesia makin menipis. Cadangan terbukti (proven reserve) tinggal 3,7 miliar barel, sedang konsumsi, yang saat ini 300 juta barel per tahun, terus meningkat. PT Pertamina menargetkan  produksi minyak mentah, yang saat ini sekitar 300.000 barel per hari (bph) menjadi 943.000 pada 2030.

Dari produksi 943.000 bph itu sebanyak 337.000 bph akan berasal dari  sumur-sumur minyak di luar negeri (detikfinance, 30/5/2016). Untuk menjaga ketahanan energi, BUMN perminyakan tersebut harus lebih banyak mengakuisi blok-blok migas di luar negeri (detikfinance, 30/5/2016) serta mencari sumur atau ladang-ladang baru di dalam negeri.

Salah satu cara meningkatkan kontribusi Pertamina dikemukakan Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan, baru-baru ini. Ia  mengemukakan,  berakhirnya kontrak sejumlah wilayah kerja (WK) migas menjadi momentum yang tepat untuk mengembalikan kedaulatan energi nasional dengan cara menyerahkan pengelolaan WK-WK itu kepada Pertamina.

Gus Irawan mempertanyakan kekhawatiran beberapa pihak yang menyebutkan Pertamina tidak memiliki dana melaksanakan itu. Ia berpendapat kondisi Pertamina sangat sehat. Itu ditunjukkan oleh kemampuan meraih laba bersih sekitar Rp 24,5 triliun pada semester I-2016 dan likuiditas perusahaan minyak nasional itu juga lebih dari Rp 7 triliun.

Pernyataan Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), IGN Wiratmaja Puja juga cukup menarik .Dia mengemukakan,  pihaknya sangat mendukung  Pertamina untuk mencari minyak di luar negeri. Jika Pertamina melebarkan sayap ke luar negeri, hal itu bukan hanya meningkatkan ketahanan energi, tetapi juga kebanggaan nasional. Kita bangga kalau simbol Pertamina berada di berbagai negara, katanya belum lama ini.

Patut pula kita catat pesan mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar (9/9/2016), yang mengemukakan, tidak mudah membangun kedaulatan energi. Nah, salah satu sarannya adalah menjadikan perusahaan minyak nasional sebagai prioritas untuk menguasai energi nasional. Jika terjadi krisis energi, pemerintah dan rakyat mengadu ke perusahaan minyak nasional.

Ia menyebutkan beberapa negara yang perusahaan minyak nasionalnya menguasai mayoritas produksi nasional. Misalnya, Saudi Aramco di atas 50 persen, Petrona sekitar 60 persen, sementara  Pertamina hanya menguasai 20-an persen. Untuk mencapai kedaulatan energi  perusahaan minyak nasional harus mendapat perlakuan khusus dalam menguasai sumber energi nasional.

Riset Eksplorasi

Seperti diketahui, penurunan produksi minyak Indonesia bukan hanya karena berkurang pengeboran sebagai akibat dari turunnya harga minyak dunia, tapi juga karena makin tua usia lapangan minyak. Terkait dengan itu, Ketua Dewan Energi Nasional (DEN) Andang Bachtiar pernah memberikan saran agar digiatkan riset eksplorasi migas khususnya di lautan oleh konsorsium, seperti yang digagas 10 tahun lalu, namun hanya berjalan tiga tahun.

Untuk memperkuat saran tersebut, Ketua DEN menjelaskan bahwa  cekungan migas Indonesia 70 persen berada di laut. Dihidupkannya kembali konsorsium diharapkan dapat dipercepat penemuan lokasi baru eksplorasi migas.

Dalam konteks menguasai hulu migas tentu kiprah Pertamina di dalam negeri amat penting diperkuat, baik itu dalam upaya mencari lokasi-lokasi eksplorasi maupun kesempatan untuk memperoleh WK-WK migas yang masa kontraknya sudah habis.

Prioritas menguasai sumber-sumber migas di dalam negeri oleh perusahaan minyak nasional dinilai tepat mengingat pengalaman dan kemampuannya, baik menyangkut sumber daya manusia, teknologi, organisasi, maupun pendanaan, yang tidak perlu diragukan lagi.

Berkiprah di luar negri, Pertamina lewat anak usahanya, PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP), sudah membukukan keberhasilan dengan beroperasi di tiga negara, yakni  Aljazair, Irak dan Malaysia.

Dirut PT PIEP Slamet Riadhy di Jakarta Jumat lalu mengatakan dari ketiga negara tersebut  Pertamina memperoleh produksi 120.000 barel setara minyak per hari (BOEPD). Ia juga menyebutkan target produk migas pada 2025 dari ladang-ladang yang dikelola PIEP di luar negeri  600.000 BOEPD, di antaranya, minyak 420.000 barel per hari dan sisanya gas.

Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro, akuisisi blok-blok migas di luar negeri akan menjadi salah satu aksi korporasi penting bagi Pertamina. Pada 2030, Pertamina berharap  dari ladang-ladang migas di dalam dan luar negeri dapat diperoleh  2 juta BOEPD per hari.

Terkait dengan itu, sampai 2030 Pertamina telah menyiapkan anggaran  146 miliar dolar AS untuk investasi di sektor hulu dan hilir. Kabarnya, sedang dijajaki pula kerja sama  di Afrika Barat, Timur Tengah dan Asia Barat.

Ada pula rencana kerja sama mengelola blok migas dengan Rosneth di Rusia. Selain itu, kerja sama mengelola blok migas di Iran juga tengah dimatangkan. Blok-blok yang diincar Pertamina adalah  yang cadangan minyaknya minimal 50 juta barel dan produksi di atas 35.000 BPH.

Semua langkah di luar negeri akan memperkokoh Pertamina sebagai pemain global dalam bisnis migas dengan tetap memperkuat operasional di  dalam negeri untuk menggapai kedaulatan energi.

Oleh karena itu, dukungan dari para pemangku kepentingan, terutama pemerintah, perlu diberikan. Jika kedaulatan atau kemandirian energi tercapai maka posisi Indonesia sebagai negara pengekspor minyak, seperti pernah diraih, dapat ditegakkan.

Kalau sudah begitu, langkah kembali menjadi anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan terasa lebih ringan.  Jauh sebelumnya, 6 Mei 1962, Indonesia tercatat sebagai anggota OPEC.  Tetapi, pada 28 Mei 2008, Indonesia keluar dari OPEC setelah Sidang Kabinet beberapa hari sebelumnya berkesimpulan, Indonesia bukan lagi net exporter minyak, tapi sudah menjadi net importer. Impor minyak sudah lebih besar dari ekspor. (penulis adalah wartawan)

 

 

Exit mobile version