Pertumbuhan Ekonomi 6,8 – 7,2% Tahun 2013?

Loading

Laporan: Redaksi

Ilustrasi

MUNGKINKAH bisa diraih target setinggi itu disaat pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan mengalami kontraksi, di Eropa, AS dan Asia. Kalau pakai asumsi mungkin jawabannya juga sama, yakni mungkin saja bisa dicapai. Mudah-mudahan para ahli ekonomi di pemerintahan punya hitung-hitunganan yang lebih sahih.

Menteri keuangan dan Menko perekonomian berdalih bahwa asumsi pertumbuhan setinggi itu diharapkan akan disumbang oleh investasi dan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Katanya Indonesia juga tidak boleh tergantung pada ekspor, tetapi juga harus menumbuhkan ekonomi domestik.

Aneh kok tidak boleh tergantung pada ekspor (Kompas, Sabtu 7 Juli 2012). Dari sisi penggunaan pertumbuhan 6,8-72% tersebut terdiri dari 53,9% konsumsi rumah tangga, 34,6% investasi, 9,6% belanja pemerintah, 29,3 % ekspor dan27,9% impor. Kalau secara bodohan teorinya menko perekonomian kita pakai dan bahwa Indonesia tidak boleh terlalu tergantung pada ekspor, maka berarti kontribusi ekspor terhadap PDB 2013 dipasang 29,3% hanyalah pemanis saja karena anggapannya tercapai syukur tidak tercapai ya apa boleh buat, kan dari awal sudah di warning.

Baru kali ini terbaca oleh kita pernyataan petinggi negara pengambil kebijakan penting di negeri ini yang berani menyatakan secara terbuka jangan terlalu bergantung pada ekspor. Bahwasanya pasar internasional sedang declining akibat krisis zona Eropa dan AS, negeri ini harus tetap konsisten membangun daya saingnya di segala lini.

Negara sebesar Indonesia tidak boleh menjadi net importer, tapi harus menjadi net exporter agar neraca pembayarannya tidak rentan. Dilihat dari sisi input, sebenarnya produktifitas ekonomi belum terlalu baik. Perekonomiannya masih sangat high cost. Biaya logistik masih sekitar 17% dari biaya produksi, bandingkan dengan rata-rata di negara Asia yang hanya pada kisaran 6-7%.

Suku bunga kredit juga masih tertinggi di kawasan Asia, sekarang angkanya masih disekitar 10-13% di Indonesia, di Asia pada umumnya hanya sekitar 5-7%. Biaya untuk memulai usaha, di Indonesia juga masih tergolong tinggi (22,3%) memang masih lebih rendah dari Kamboja (128,3%) dan Filipina (30,3%).

Biaya bahan baku/penolong untuk industri karena 70% lebih bergantung pada impor, maka pengadaannya juga rentan terhadap fluktuasi harga dipasar dunia dan pergerakan nilai tukar mata uang. Dari sisi output tentunya kalau seluruh produksi nasional bisa mencapai titik kapasitas yang optimal (bisa sampai 80-90%) ini sesuatu kinerja yang luar biasa dengan asumsi kalau seluruh kekuatan belanja konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah dan bahkan belanja capexnya BUMN/swasta dapat dimobilisasi untuk menggunakan produk lokal.

Harapan tersebut agak berat merealisasikannya karena beberapa kenyataan sebagai berikut: 1) Akibat perubahan gaya hidup dan pola konsumsi, masyarakat konsumen Indonesia makin sangat menyukai barang impor (baik yang masuk legal, ilegal dan bahkan yang bekas), walaupun sesungguhnya impor barang impor porsinya hanya sekitar 6-7% dari total impor. Yang ilegal dan yang bekas tidak ada angka yang bisa dirujuk.

2) Faktanya lagi mengakses barang buatan dalam negeri di pasar, di mall sampai di pasar sogo jongkok tidak mudah dilakukan karena pada sebagian besar barang yang dijajakan adalah barang impor. 3) Pengadaan barang/jasa pemerintah prosedurnya rumit dan disamping itu yang diadakan juga sebagian dari impor terutama yang berupa mesin dan perlatan.

4) Mengarahkan dan memobilisasi masyarakat untuk membeli produk lokal terutama bagi golongan kelas menengah dan kelas menengah atas tidak mudah karena rasa nasionalisme mereka memudar. Gaya hidup mereka itu adalah menyukai barang branded, barang eks impor KW yang banyak disukai oleh golongan kelas menengah bawah. Tidak kaget kalau kontribusi impor dalam PDB angkanya dipatok 27,9%.

Komposisi impor hampir pasti belum akan bergeser dan kisaranya masih akan berada pada posisi 70% bahan baku/penolong, 20% barang modal dan sekitar 6-10 barang konsumsi. Andai kata sumbangan ekspor tidak mencapai 29,3%, berarti bisa lebih rendah, maka pertumbuhan ekonomi pasti akan tidak bisa sebesar yang diasumsikan.

Belum lagi angka kontribusi dari kegiatan investasi sebesar 36,4% mengalami kenaikan yang lumayan tinggi sampai 4,4 % basis poin dibandingkan yang tercatat di tahun 2011 sebesar 32%.Para pemerhati ekonomi menilai angka pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar 6,8-7,2% terlalu optimistis karena pada sisi internal kita masih punya banyak PR yang harus dikerjakan dan di sisi ekternal perkembangannya juga tidak terlalu menjanjikan sebagai landasan pacu untuk mendorong pertumbuhan.

Kita tidak usah terjebak pada persoalan tinggi rendahnya tentang pertumbuhan ekonomi yang terlalu makro ukurannya. Target pertumbuhan ekonomi sangat penting kita buat, tapi yang jauh lebih penting adalah kapan kita bisa dinyatakan negara yang paling bersaing di Asean atau di Asia dan bahkan diglobal.

Bangsa yang mampu membangun daya saingnya adalah yang akan mampu menguasai pasar dunia dan pasar dalam negerinya. Otomatis hal tersebut akan berdampak kepada kinerja pertumbuhan ekonominya. Jadi yang perlu disiapkan oleh negeri ini adalah bagaimana rencana dan roadmap disiapkan untuk membangun daya saing bangsa.

Variable penentunya disepakati bersama antara pemerintah dan DPR dengan melibatkan masyarakat dan para ahli. Dengan demikian pemerintah, DPR dan masyarakat tidak usah membuat berbagai macam kebijakan, tetapi cukup satu saja yaitu kebijakan dan progam membangun daya saing bangsa untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan. Daya saing dan pertumbuhan ekonomi bersifat linier.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS