Perubahan yang Tidak Menghasilkan Perubahan

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Fauzi Azis

Fauzi Azis

KITA sepakat sejak refomasi 1998 telah terjadi perubahan dalam tatanan politik yang mendasar, yakni dari sistem otoriter menjadi sistem politik yang demokratis. Perubahan ini tentu menjadi catatan sejarah bagi bangsa Indonesia untuk melangkah ke arah yang lebih baik dalam membangun negerinya.

Perubahan yang kita harapkan tentu yang bisa meningkatkan kesejahteraan rakyatnya di seluruh tanah air. Tapi apa yang kita harapkan belum terjadi. Yang kita rasakan hanyalah para elit politik pandai omong dan bersilat lidah atas nama demokrasi, rasa kemaruk untuk menjadi penguasa dan miskin karya dan legacy. Elit politik tidak menghasilkan kebijakan politik yang mampu menghasilkan perubahan mendasar kehidupan rakyat untuk hidup sejahtera.

Demokrasi yang sudah berjalan hanyalah sebuah pesta pora kelompok borjuis dan kelas menengah yang ekonominya mapan. Yang terjadi adalah perburuan rente makin hebat di pusat/daerah karena dengan kekuasaan politik yang sudah disandangnya banyak dipakai memupuk kapital, baik bagi kepentingan sendiri maupun golongannya.

Fragmentasi politik terjadi sedemikian rupa tanpa pernah berhasil mengkonsolidasikan dirinya ke dalam satu semangat visi kebangsaan yang solid membangun masyarakat sejahtera, adil dan makmur karena lemahnya kepemimpinan nasional. Wajar kalau kemudian terjadi reaksi dan aksi antara rakyat dengan para elit politik karena rakyat sudah pegal melihat tingkah laku mereka yang hanya memikirkan periuk nasinya sendiri.

Makna sebuah perubahan yang hakiki nyaris tidak pernah terjadi. Rencana-rencana besar yang konsepnya sangat bagus dan menjanjikan hanya bertumpuk dalam dokumen, tetapi tidak banyak yang dapat direalisasikan. Padahal jika dipetakan satu persatu dan dapat dieksekusi sesuai tahapannya dan didukung anggaran yang cukup, pasti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan rakyat sepanjang tata kelolanya baik.

Anggaran belanja negara sebesar Rp 1.800 triliun lebih tahun 2014 harusnya kalau didaya gunakan secara maksimal mempunyai daya ungkit bagi pertumbuhan ekonomi yang lumayan besar. Tapi pola pembelanjaannya lebih banyak dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif daripada yang bersifat produktif, yang akhirnya tidak mampu membangun infrastruktur ekonomi yang memadai baik jumlah maupun kualitasnya.

Di bidang ekonomi telah banyak kebijakan dibuat, tapi tidak banyak menghasilkan perubahan fondamental meskipun setiap tahun PDB-nya bisa tumbuh pada kisaran 5-6%. Pertumbuhan yang dihasilkan sepanjang 10 tahun terakhir disumbang oleh pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga yang berada pada kisaran 50% lebih terhadap PDB. Disusul oleh sumbangan belanja konsumsi pemerintah yang angkanya cenderung konstan pada kisaran 9%.

Belanja investasi berkisar di angka 30%,pengeluaran ekspor sekitar 24%,dan impor sekitar 25%.PDB yang dihasilkan lebih banyak dinikmati oleh jawa yang sumbangannya masih di atas 50%.

Inilah gambaran stagnasi yang terjadi di bidang pembangunan ekonomi yang hasilnya tetap mengundang masalah kesenjangan antar wilayah dan antar kelompok pendapatan.Ekonomi Indonesia cenderung tidak efisien.

Pemerintah belum berhasil memerankan perannya sebagai problem solver yang efektif sehingga masyarakat banyak memberikan penilaian bahwa pemerintah dengan kapasitasnya sebagai pembuat kebijakan dan juga sebagai pelaksana kebijakan di pusat/daerah belum berhasil membuat perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat.Yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS