Pisau Penguasa, Tajam ke Bawah Tapi Tumpul ke Atas

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

KRISIS finansial melanda zona Eropa dan berimbas hampir ke seluruh dunia. Semua negara melakukan daya upaya untuk bisa menangkal krisis tersebut. Musim kemarau panjang telah mengakibatkan sawah kering kerontang tidak ada air. Sumur-sumur milik penduduk juga kering. Keadaan seperti ini bisa disebut sebagai krisis air. BMKG membuat prakiraan bahwa mulai Oktober ini hujan mulai turun dan memang sudah terjadi, namun curah hujannya belum begitu tinggi.

Krisis finansial dan krisis hutang bisa jadi perkara besar. Bagaimana tidak, negara bisa bangkrut dan pailit, sektor perbankan dan lembaga keuangan bisa megap-megap karena likuiditasnya terkuras. Para investor yang tadinya kaya raya bisa miskin mendadak karena harga saham yang mereka kuasai nilainya jeblok.

Krisis kewibawaan sekarang ini juga terjadi di negeri ini. Wibawa para pemimpin formal sedang mengalami degradasi karena direction-nya tidak digubris oleh bawahannya (ini yang terjadi di lembaga negara).

Di luar itu, krisis kewibawaan para pemimpin formal runtuh disebabkan karena faktor kebijakan yang dibuatnya dinilai tidak obyektif dan sarat dengan nuansa kepentingan yang bersifat subyektif. Sebab lain, pisau milik para pemimpin formal hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, tebang pilih, tidak tegas, lamban dan sebagainya.

Sejumlah faktor tadi yang menyebabkan para pemimpin formal di negeri ini mengalami krisis kewibawaan. Belum lagi yang berkaitan dengan keteladanan, nyaris tidak ada yang bisa kita contoh dari perilaku para pemimpin di negeri ini.

Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan karena bila tidak bisa diatasi, akan berdampak terjadinya krisis berikutnya, yaitu krisis kepercayaan kepada sang pemimpin dan gejala ini sudah terjadi cukup lama. Dalam kondisi krisis kewibawaan, sangat sulit segala bentuk ucapan dan tindakannya akan dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat.

Ibaratnya selalu disikapi dengan perasaan tanda tanya setiap ada penjelasan resmi yang disampaikan oleh para pemimpin bangsa di negeri ini tentang berbagai bentuk kebijakan maupun progam. Lebih celaka lagi kalau sikapnya menjadi “curiga”.

Situasi semacam ini sudah terjadi lho kalau kita sering ngobrol di warung kopi, di cafe-cafe dan dalam kerumunan di tempat lain. Kejadian di KPK sepekan kemarin adalah contoh konkret betapa masyarakat sangat “mencurigai” rencana “penangkapan” Kompol Novel Baswedan oleh aparat kepolisian Polda Bengkulu sebagai bentuk rekayasa atau akal-akalan.

Ini kan sangat merugikan dilihat dari kepentingan institusi POLRI sendiri. Wibawa dan reputasinya sudah sangat jatuh karena cara-cara yang dilakukannya dinilai oleh masyarakat sebagai tindakan yang tidak tepat.

Wibawa, reputasi dan degradasi hampir tidak ada yang terjadi karena faktor ekternal penyebabnya. Hilangnya wibawa, menurunnya reputasi selalu terjadi karena faktor internal. Wibawa, reputasi kalau posisinya sudah jatuh, sulit melakukan pembelaannya meskipun dengan susah payah masyarakat dicoba diyakinkan atas segala bentuk tindakan yang dilakukan.

Ini adalah krisis yang paling serius dan paling mengkhawatirkan karena berbagai dampak yang bisa ditimbulkannya karena menyangkut soal kepercayaan. Opini ini terus terang sulit untuk memberikan kontribusi bagaimana krisis kewibawaan ini dapat diatasi. Yang paling bisa dilakukan adalah semua pihak yang kadung salah melangkah adalah melakukan pertobatan dan jujur di hadapan Tuhan bahwa tindakan yang dilakukannya telah menimbulkan situasi buruk dan meresahkan.

Dan tidak ada salahnya secara ksatria juga harus berani dengan jujur mengatakan kepada publik bahwa ada yang salah selama menjalankan kepemimpinannya. Mudah-mudahan masyarakat akan menerimanya dan juga mau memaafkannya. Ini lebih baik, lebih bijaksana daripada terus melakukan pembelaan yang belum tentu akan mampu memulihkan kewibawaan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS