Pluralitas

Loading

Oleh: Edi Siswojo

Ilustrasi

Ilustrasi

MENYEDIHKAN, musyawarah dan mufakat sebagai jiwa dan semangat menghormati pluralitas dalam kemajemukan masyarakat Indonesia tidak lagi menjadi nilai-nilai yang dihormati dan dijunjung tinggi dalam proses demokrasi.

Buktinya, banyak keputusan politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diambil dengan menggunakan senjata pamungkas voting atau pemungutan suara. Padahal ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Pancasila menghendaki adanya musyawarah dan mufakat dalam proses pengambilan keputusan.

Voting memang tidak diharamkan dalam proses demokrasi di Indonesia. Tapi, jiwa dan semangat musyswarah untuk mufakat sebagai penghormatan terhadap pluralitas dalam masyarakat yang majemuk sangat dibutuhkan Jadi, bukan masalah menang atau kalah, tapi pengakuan terhadap pluralitas sebagai realitas kekayaan budaya masyarakat Idonesia yang majemuk.

Hati masyarakat Indonesia sedang sakit oleh tusukan voting pengesahan UU APBN Perubahan 2012 yang menunda kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Luka yang masih menganga, pekan lalu, “ditembak” oleh pengesaan UU Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 yang disahkan melalui pemungutan suara. Maka tidak perlu heran kalau UU APBN Perubahan 2012 dan UU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang baru berbuntut kontroversi di masyarakat.

UU Pemilu yang baru dinilai tidak tanggap terhadap realitas pluralisme yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Pengabaian itu sebagai bentuk pembatasan partisipasi politik seperti yang pernah terjadi dalam era Orde Baru. Saat itu, pengelompokan partai politik menjadi tiga—Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangun (PPP)—pada hakekatnya sebagai pemaksaan kehendak kekuasaan melalui pembatasan jumlah partai politik.

Hal itu terulang kembali dengan lahirnya UU Pemilu yang baru. Pemilu 2014 akan dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka dengan penghitungan suara kuota murni, untuk memperebutkan kursi di daerah pemilihan (dapil) diakokasi 3 – 10 kursi yang dihitung melalui penghitungan suara kuota murni untuk mencapai ambang batas parlemen (parlementary threshold) 3,5 persen.

Tidak ada bedanya, pluralitas ideologi di masyarakat belum sepenuhnya mendapat penghoramatan yang layak dalam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia. Setiap orde mempunyai caranya sendiri dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik.

Pembatasan jumlah partai politik telah terulang kembali, hanya caranya yang berbeda–kasar atau halus–dalam memberikan penghormatan kepada pluralitas yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS