Politik Ekonomi Indonesia

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi

Ilustrasi

MENJELANG pergantian kepemimpinan nasional pada 2014, tidak ada salahnya topik tentang politik ekonomi Indonesia diangkat kembali. Banyak pihak telah memperbincangkannya dalam berbagai prespektif dan dimensi. Intinya adalah pentingnya negara ini memilki kesamaan pendapat tentang politik ekonomi Indonesia untuk membangun masa depan sebagai negara yang berdaulat.

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem politik ekonomi itu harus tunduk kepada konstitusi, UUD 1945. Presiden Soekarno pada 1958 mengeluarkan Perpu Nomor 86 Tahun 1958, Lembaran Negara 1958, No 162 tentang nasionalisasi perusahaan milik Belanda yang beroperasi di tanah air. Kalau dilihat latar belakangnya, Perpu itu lahir sebagai ekspresi dari visi Soekarno, saat itu, yang cita-citanya amat luhur, yaitu semangat nasionalisme untuk mengelola ekonomi dengan dasar spirit kebangsaan yang tinggi setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Kebijakan ini mendapat kecaman, khususnya dari kalangan investor “global” saat itu yang mengincar kekayaan alam di bumi pertiwi. Catatan kecil ini diingatkan kembali agar bangsa dan negara ini berpikir jernih, apakah semangat yang seperti itu relevan untuk digaungkan kembali, tanpa harus meng-copy seratus persen platform kebijakan yang dibangun Soekarno dengan visi sosialisnya.

Hari ini, sistem ekonomi Indonesia adalah liberal dan sejak pascakrisis ekonomi tahun 1998 makin bersifat sangat liberal. Bahkan maaf kata, secara ekonomi, bangsa ini sepertinya “terjajah kembali”. Perasaan kebatinannya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat menjadi tersengat seakan-akan bangsa ini memasuki zaman merkantilisme masa penjajahan Belanda selama 350 tahun. VOC melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan kaum pekerja untuk kepentingan kaum borjuis di bawah payung “Agrarische Wet dan Agrarische Besluit”.

Secara statistika, faktanya sudah banyak diungkapkan dan kondisinya memang seperti itu adanya. Katanya, ini akibat globalisasi ekonomi yang kebablasan, sehingga eksploitasi ekonomi oleh negara maju terhadap ekonomi di negara berkembang berlangsung begitu rupa seperti dialami oleh Indonesia di era penjajahan Belanda. Mengglobalkan sistem neolib sebagai satu-satunya doktrin ekonomi yang harus dianut oleh negara di seluruh dunia.

IMF, World Bank, dan WTO adalah lembaga pengibar panji-panji semangat ekonomi liberal berbasis ekonomi pasar dan perdagangan bebas. Indonesia, karena selama ini selalu mengambil posisi sebagai “good boy”, akhirnya masuk dalam perangkap permainan mereka dengan akibat, struktur perekonomian nasional menjadi rentan. Contoh, sektor pertanian tidak bisa tumbuh menjadi sumber kekuatan ekonomi. Sektor energi hanya menjadi sapi perahan kepentingan asing. Sektor industri pengolahan hanya hidup sebagai pabrik-pabrik yang 70% bahan baku/penolongnya bergantung pada impor.

Gubernur BI menyebutkan struktur industri dalam negeri lemah dan tidak berkembang. Oleh sebab itu, politik ekonomi nasional harus ditata ulang agar setiap pertumbuhan yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sistem politik ekonomi saat ini memang patut “digugat”, karena dinilai tidak selaras dengan semangat konstitusi, UUD 1945. Politik ekonominya pasti tidak harus kembali ke sosialis, tapi tidak juga harus seratus persen liberal.

Keduanya mengandung kebaikan dan kelemahan. Oleh sebab itu, meminjam istilah Anthony Giddens dengan pandangannya tentang the third way, bangsa dan negara Indonesia harus membangun konsensus dan menyepakati jalan ketiganya menuju sistem politik ekonomi nasional yang seperti apa sebagai landasan pembangunan ekonomi di masa depan. Ini penting dan mendesak agar republik ini bisa segera “diselamatkan” dan “mencegah kebangkrutan bangsa”, karena sudah blusukan tidak karuan dan arahnya tidak jelas.

Sebagian kecil masyarakat mengatakan bahwa bangsa dan negara ini sedang terperangkap dalam zaman edan/zaman gendeng. Menurut mereka zaman edan itu bercirikan, antara lain, keteraturan terganggu, keadilan dan keamanan menipis, ekonomi sulit, dan tata nilai yang saling berbenturan. ***

CATEGORIES
TAGS