Politisi Kini Sibuk Urusin Gizi

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

IDEALISME parpol no way, gizi, gizi, gizi, yes-yes-yes. Begitulah kehidupan berpolitik di Indonesia yang mengendarai kendaraan parpol. Pragmatis, transaksional, melalui operasi senyap, idiologi partai tidak ada dan kalau ada dikubur, ditenggelamkan demi gizi dan gizi.

Berpolitik formalitas saja. Setelah berkuasa di eksekutif, di legislatif dan lembaga tinggi negara, yang dirawat adalah kekuasannya. Aturan perundangan dikotak-katik tanpa naskah akademis dan hanya memainkan logika politik yang konyol dan memainkan kata-kata dan pengkalimatan dan jadilah UU politik yang sengaja dibuat untuk menguntungkan mereka, bukan untuk kepentingan publik.

Begitu pula dengan UU lain seperti UU anti korupsi. Sempat mau divermaak agar elit politik sulit dijangkau perilaku politiknya yang pragmatis, transaksional dan korup oleh UU anti korupsi. Kasus yang menimpa Partai Demokrat dan terakhir kasus yg menimpa PKS adalah contoh nyata bahwa demi gizi, partai dan oknum partai, idealismenya dikubur dalam-dalam.

Dengan operasi senyap seolah-olah semua beres dalam melakukan “transaksi politik” yang bisa mendatangkan gizi. Gizi memang penting asal diperoleh secara sah dan halal, karena tanpa gizi yang cukup, pasti letoy. Namun, idealisme dalam rangka membangun Indonesia yang bermartabat dan beradab, jauh lebih penting.

Tanpa idealism, sama saja seperti hidup tanpa cita-cita dan tanpa arah. Menenggelamkan idealisme sama saja membunuh karakter diri yang melekat pada seseorang sehingga tidak lagi sempat berfikir mana yang patut dan mana yang tidak patut. Dalam berpolitik yang nota bene adalah bernegara dan berkontusi oleh elit politik saat ini jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh para elit pasca kemerdekaan, kualitasnya jauh lebih jelek dalam hal memelihara idealisme.

Sebagai anak bangsa tentu sangat khawatir karena sikap politik yang pragmatis dan transaksional bisa jadi bangsa dan negara ini tergadaikan. Pulau-pulau kecil di jual melalui operasi senyap. TKI tidak berketrampilan diobral dikirim ke luar negeri dan bagi negara, yang penting dapat devisa kendati di atas penderitaan orang lain.

Demi gizi yang serba uang nilainya, setiap kalimat yang terucap dari mulut para politisi busuk selalu bersayap yang ujung-ujungnya minta duit. Sangat memalukan dan memilukan. Ketemu siapa saja dimana saja sebisa mungkin menghasilkan gizi, sampai tega membohongi isteri dan anak-anaknya.

Tega mengasih makan isteri dan anak-anak dari uang yang diperoleh secara tidak halal. Sengaja tidak berani menyebut dengan istilah rezeki yang tidak halal karena rezeki itu adalah nikmat dan karunia Tuhan.

Indonesia masih perlu eksis. Tapi ingat, tidak boleh mengelola Indonesia secara sembrono yang dapat mengancam Indonesia menjadi negara gagal karena elitnya lebih sibuk mengurus gizi siang malam, lupa daratan bahwa dirinya sedang bernegara dan melaksanakan konstitusi.

Jangan sampai terjadi niat di kalangan masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI gara-gara elit politiknya hanya sibuk mengurus gizi. Jangan salahkan rakyat kalau ada yang berfikir untuk mendirikan “Indonesia baru” karena ekspektasinya agar para elit mampu melakukan perubahan jauh panggang dari api.

Tapi optimisme tidak boleh surut seiring dengan matinya idealisme. Kita masih punya stok dari kalangan muda yang mampu menyelamatkan negeri ini dari kegagalan dalam bernegara dan berkonstitusi karena masih bisa menjunjung tinggi idealisme.

Semoga elit politik yang lagi tersesat dan terperangkap dalam dunia underground politic bisa segera siuman dan tidak lagi dibudakin oleh gizi dan mengubur idealisme, demi masa depan bangsa dan negara Indonesia yang bermartabat dan beradab. ***

CATEGORIES
TAGS