Prinsip Bisnisnya, Tebang, Gali, Bor dan Jual

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

SEBAGAI lanjutan tulisan sebelumnya berjudul “Inkubasi, Investasi dan Bisnis”, penulis mencoba menelaahnya dalam perspektif di bagian mana Indonesia mempunyai daya tarik.

Dalam hubungan ini, posisi investasi akan ditempatkan sebagai poros yang bandulnya bisa diarahkan ke sayap kiri, yakni dengan menggelontorkan modal dan teknologi untuk meng-ikuib sumber daya ekonomi nasional dengan basis utama peningkatan nilai tambah.

Dapat pula diarahkan ke sayap kanan bahwa modal dan teknologi hanya diorientasikan untuk menghasilkan profit sebesar-besarnya melalui kegiatan bisnis.

Simplifikasi dan pragmatisme pikiran ini hanya sekedar dimaksudkan melihat realitas ekonomi yang kini tumbuh dan berkembang di Indonesia. Selintas dapat kita lihat serangkaian fakta apakah bandulnya investasi bergerak ke kiri. Ini berarti sebesar-besarnya diarahkan untuk peningkatan nilai tambah melalui inkubasi atau bandulnya bergerak ke kanan, yaitu berinvestasi untuk mengejar profit dan return semata.

Fenomena ini adalah hukum pasar yang digerakkan faktor demand dan supply. Era sekarang, sisi supply rada kedodoran merespon kebutuhan sisi demand karena ada pandangan kuat mengatakan bahwa bandul ekonomi telah bergeser dari sisi supply ke sisi demand sebagai penggerak ekonomi.

Ketika sisi demand-nya lemah, pasar akan lesu dan kekuatan sisi supply cenderung ikut melemah sehingga berpengaruh terhadap perkembangan produksi. Teori ekonomi mengatakan, dalam situasi seperti itu, pemerintah mempunyai kekuatan memompa dengan memberikan stimulus ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter.

Tapi apa daya. Energi pemerintah sebagai “juru ungkit” sangat terbatas. Untuk kasus Indonesia, peran belanja pemerintah hanya mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi 8-9% per tahun. Pada tahun 2016, konsomsi pemerintah turun 0,15% sementara konsumsi rumah tangga tumbuh 5%.

Mengapa Indonesia lebih menarik menjadi ladang berbisnis? Ada beberapa hal dapat disebutkan sebagai pemicunya. Antara lain, Indonesia termasuk salah satu kelompok negara-negara dengan pasar yang sedang tumbuh.

Populasi penduduk dan volume ekonomi yang besar menjadi daya tarik mengais peruntungan di Indonesia. Motonya para pemilik modal, berinvestasi untuk berbisnis. Hanya ada dua peruntungan yang dikejar, profit dan balik modal.

Mereka juga hanya memerlukan investment grade-nya bagus dan cost doing business-nya murah. Indonesia menjadi sumber komoditas penting untuk pasar dunia. Contohnya sawit, karet, kakao, teh, kopi, bahan tambang dan mineral, berupa gas alam, tembaga, emas, nikel, bauxit dan sebagainya.

Prinsip bisnisnya adalah tebang, gali, bor dan jual. Kemudian untung besar. Inilah ekonomi bisnis komoditas yang mampu mengalahkan ekonomi nilai tambah.

Pemilik modal dalam ekonomi yang makin terbuka oleh globalisasi apalagi ditambah faktor ketidakpastian lebih sering terjadi daripada kepastian, orientasinya lebih memilih yang quick yielding. Memborong aset tetap lebih dipilih daripada membangun nilai aset baru dari nol.

Karena itu, pemodal lebih memilih beli putus aset yang nilai kapitalisasi pasarnya prospektif melalui akuisisi atau merger atau skema lain yang menguntungkan, daripada membangun pabrik baru.
Sebab itu, data statistik nasional semakin memberikan jawaban bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sejak reformasi tahun 1998 hingga kini, lebih memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pemodal berbisnis di Indonesia.

Modalnya lebih memilih diinvestasikan di ladang bisnis yang quick yielding di sektor jasa-jasa, sehingga bisnis ini mampu tumbuh rata-rata 5,88% pada tahun lalu. Ladang bisnis yang quick yielding, semakin terpacu untuk tumbuh manakala jumlah kelas menengah Indonesia dengan kekuatan daya belinya yang tinggi makin besar. Saat ini berada pada kisaran 60% dari total populasi penduduk.

Di tahun 2030 diproyeksikan akan mampu membelanjakannya sekitar 2,5 triliun dolar AS nomor 4 di dunia setelah India, Tiongkok dan Amerika Serikat. Fenomena demand driven atau market driven, kini sudah menjadi sebuah realita.

Kita tidak terlalu kaget bila saat ini dilihat dari indikator indeks tendensi bisnis di Indonesia, sektor jasa keuangan dan asuransi (109,97) dan jasa transportasi dan pergudangan (108,89) menduduki ranking tertinggi nomor 1 dan 2 di antara seluruh sektor ekonomi di Indonesia, meskipun semua sektor ekonomi indeks tendensi bisnisnya rata-rata memberikan optimisme.

Di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, indeksnya 108,53, sektor pertambangan dan penggalian,100,94 dan industri pengolahan 105,59. Indeks sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, tendensi bisnisnya bisa paling tinggi diantara ketiga sektor tradable karena modal asing banyak tertarik ingin membangun agrobisnis dan agroindustri di Indonesia di sektor tersebut.

Ini menarik karena terkait dengan masalah ekonomi pangan dunia, dimana banyak ahli membuat prediksi, pertumbuhan ekonomi di masa depan, akan banyak bergantung pada tumbuh dan berkembangnya ekonomi bahan pangan, energi, pariwisata dan industri hiburan serta sektor pendukungnya.

Kalau dilihat dari tendensi bisnis, Indonesia menjadi salah satu tempat yang menarik di dunia. Jadi dapat disimpulkan bandul investasi bisa bergerak ke kiri (inkubasi dengan orientasi peningkatan nilai tambah dan sifatnya jangka panjang untuk bisa menghasilkan return dan profit), juga bergerak ke kanan (bisnis, orientasinya quick yielding, profit dan return dalam jangka pendek).

Saat ini, trendnya menguat berinvestasi kearah bisnis yang cepat untung dan balik modal. Karena itu, jika pemerintah memacu investasi di sektor manufaktur, pemerintah tak boleh bersikap setengah hati. Perlu special effort dan memerlukan pemihakan.

Namun bila yang dikejar ekonomi tumbuh tak penting digerakkan sektor apa, investor pasti akan memilih Indonesia untuk dijadikan lahan bisnis untuk mengejar return dan profit. Bukan dalam rangka penciptaan nilai tambah atau pendalaman struktur ekonomi.

Inilah tantangan kita membangun kekuatan ekonomi Indonesia di masa depan. PR-nya terlalu banyak dari yang sifatnya fondamental sampai hal-hal yang sifatnya pragmatis. Pilihan kebijakan ekonominya hanya ada dua. Pro-Inkubasi dan Penumbuhan, atau serta merta Pro-Pasar tanpa reserve. Yang penting ekonominya tumbuh dan berkembang sebagai ladang bisnis quick yielding. (penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS