Quo Vadis Industri Kapal Nasional

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit

Sabar Hutasoit

ADALAH Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Budi Darmadi yang mengatakan kalau kemampuan industri perkapalan nasional, jauh di bawah kondisi yang ideal. Pasti kita sebagai warganegara yang berada di negara kepulauan ini tersentak mendengar pernyataan pejabat yang mengomandoi industri maritim dan perkapalan itu.

Tapi begitulah kenyataannya. Walau kita tersentak, pernyataan tersebut tidak perlu didebat karena sudah bisa dipastikan kalau pernyataan itu mendekati kebenaran yang didukung dengan data-data akurat.

Kalau bisa ditafsirkan lagi bahwa posisi industri perkapalan nasional di dunia internasional, teramat memprihatinkan padahal menurut data, jumlah industri galangan kapal di Indonesia mencapai angka 250 unit. Dari segi kuantitas, cukup menggembirakan tapi dipandang dari sisi mutu atau kemampuan seperti yang dilansir Budi Darmadi, belum bisa dibanggakan. Di bawah kondisi yang ideal.

Lalu apa yang kita banggakan dari sektor industri yang satu ini. Sebagai renungan, ke-25 industri galangan kapal yang ada di Indonesia, semuanya membeli suku cadang atau spare part kapal dari luar negeri alias impor. Pelaku bisnis transportasi laut di Indonesia-pun, baik badan usaha milik negara (BUMN) apalagi swasta, umumnya membeli kapal dari luar negeri.

Mereka tampaknya enggan membeli kapal buatan dalam negeri walau pemerintah sudah mengharuskan seluruh perusahaan BUMN dan swasta wajib membeli produk dalam negeri yang disebut dengan program P3DN (Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri).

Tapi jangankan membeli, untuk mereperasi kapal yang beroperasi di laut Indonesia-pun, umumnya dipercayakan kepada tukang reperasi yang berada di luar negeri, bukan di Indonesia. Artinya, Indonesia hanya dijadikan sebagai lahan tempat membuka usaha saja. Nilai tambah dari kehadiran 250 unit industri kapal nasional, sama sekali tidak ada yang dinikmati bangsa Indonesia, devisanya habis tersedot ke luar negeri.

Sebagai catatan, pemerintah telah melahirkan Instruksi Presiden No 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Melalui Inpres No 5 Tahun 2005, asas cabotage kembali direvitalisasi yang kemudian secara formal diadopsi dalam UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

Sejak UU tersebut diberlakukan pada 2005, armada nasional bertambah 3.000 unit sehingga total kapal yang teregistrasi di Indonesia mencapai lebih dari 10.000 unit. Dalam lima tahun terakhir, INSA mencatat investasi untuk mendukung program asas cabotage adalah melalui pembelian kapal sebanyak 6.157 unit atau US$15,4 miliar.

Sayangnya, sebagian besar kapal itu tidak dibuat di galangan kapal nasional, melainkan dibeli dari luar negeri. Ironis. Jumlah armada kapal di Indoneia terus bertambah, tapi industri galangan kapal nasional tetap tak berdaya bahkan bisa disebut terpuruk.

Boleh mungkin kita melongok sebentar pada kondisi PT PAL dan PT DKB. Dua raksasa industri galangan kapal lokal ini tetap belum bisa berkembang atau jalan di tempat.

Lalu siapa yang salah? Ada suara dari pelaku industri kapal bahwa pemerintah belum sepenuhnya mendukung pertumbuhan industri kapal di Indonesia. Sebagai contoh kata mereka, jika industri galangan kapal beli suku cadang di Indonesia, harganya pasti jauh lebih mahal dibanding beli impor.

Karena itu pulalah mereka lebih condong belanja suku cadang ke luar negeri ketimbang di Indonesia. Selain harga impor lebih kompetitif, waktu pengiriman juga jauh lebih cepat dibanding beli di Indonesia. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS