RAPBN 2014 Hanya Retorika Alokasi

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

POSTUR RAPBN tahun 2014 sebagaimana disampaikan pemerintah di depan DPR dan DPD 16 Agustus 2013, dari sisi pendapatan mengalami kenaikan 10,7% menjadi Rp 1.662,5 triliun. Sementara itu dari sisi pembelanjaan juga mengalami kenaikan 5,2% sehingga menjadi Rp 1.816,7 triliun.

Dengan postur anggaran yang seperti itu, defisit anggaran dipatok pada angka 1,49% dari PDB. Suatu beleid kebijakan fiskal yang biasa-biasa saja kalau kita mencermati postur anggaran tahun 2014 tersebut meskipun angkanya mengalami kenaikan. A Prasetyantoko, pengajar pada Unika Atmajaya, Jakarta menyebutnya sebagai “miskin trobosan dan rutin semata”.

Dalam sudut pandang yang hampir sama bisa dikatakan bahwa postur anggaran tahun 2014 hanya bersifat normatif dan sekedar menjalankan kaidah-kaidah dalam penyusunan anggaran sebagaimana digariskan dalam UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Bagi pemerintah dan juga DPR dan DPD barangkali langkah ini yang paling aman dalam arti dilihat dari kepentingan teknis anggaran dan tujuan pragmatis bahwa semua progam telah mendapatkan alokasi anggaran yang cukup sesuai kebutuhan masing-masing Kementrian/Lembaga(K/L).

Defisit anggaran bisa dipatok pada level 1,49%. Porsi nisbah hutang terhadap PDB juga pasti akan tetap dikendalikan pada besaran persentase tidak lebih dari 30%. Pengelolaan fiskal yang prudent memang selalu dijalankan oleh pemerintah meskipun dengan konsekwensi ruang fiskal untuk melakukan ekspansi menjadi sangat terbatas.

Fungsi alokasi dalam beberapa tahun terakhir memang lebih dominan ketimbang menyusun anggaran yang lebih kuat mempertimbangkan faktor fungsi distribusi dan fungsi pertumbuhan dan stimulus. Dominannya fungsi alokasi ini salah satu penyebabnya adalah karena reformasi birokrasi belum berjalan sebagaimana diharapkan.

Birokrasi kita masih boros atau paling tidak masih menggunakan pos belanja pegawai dan belanja barang yang lumayan besar dibandingkan dengan alokasi pada pos belanja modal dan stimulus. Dengan perkataan lain adalah bahwa APBN yang selama ini dibelanjakan oleh K/L bobotnya lebih besar terpakai sebagai pos belanja konsumsi, ketimbang digunakan sebagai pos belanja investasi.

Pos belanja modal dalam RAPBN 2014 mengalami kenaikan sekitar 6,9% dibandingkan dengan APBNP 2013 sehingga menjadi Rp 205,8 triliun atau hanya 11,33% dari total pengeluaran RAPBN 2014. Retorika fungsi alokasi ini sejatinya masih sangat mungkin diefisensikan jika Bappenas dan Ditjen Anggaran Kemenkeu berhasil melakukan harmonisasi dan sinkronisasi kegiatan antar progam dan bahkan antar K/L.

Pada kenyataannya tujuan tersebut tidak pernah berhasil dicapai karena saking banyaknya jumlah kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu progam di setiap K/L. Belum lagi setelah dibahas di DPR, harmonisasasi dan sinkronisasi progam dan kegiatan nyaris tidak mungkin dapat dilaksanakan di samping karena mekanismenya yang begitu rigid, juga waktu dan tenaga untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi progam dan kegiatan sangat terbatas. Jadi mau tidak mau kita harus dapat memaklumi dalam menyikapi postur RAPBN di setiap tahun anggaran karena ruang fiskalnya memang sudah dibuat terbatas oleh pemerintah sendiri berdasarkan kebijakan fiskal yang dianut.

Tahun depan sesuai UU nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan nasional masih memiliki tanggungjawab menyusun RAPBN 2015, meskipun kabinet yang sekarang akan berakhir masa tugasnya pada Oktober 2014.

Tujuannya adalah agar tidak terjadi kekosongan, meskipun RAPBN tahun 2015 bisa diubah dan disempurnakan oleh kabinet yang baru. Semoga RAPBN 2014 setelah menjadi APBN tidak dipakai untuk bancaan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS