Regulasi Nasional Perlu Ditata Ulang

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

NEGARA yang mendambakan ekonominya tumbuh selalu mengandalkan pada pertumbuhan dan kontribusi faktor belanja investasi (I), belanja konsumsi rumah tangga (C), belanja pemerintah (G) dan eksport neto (X). Dari sisi marketing, seluruh nilai dari pos pembelanjaan itu, pada dasarnya adalah pasar potensial di dalam negeri.

Maka itu tidak salah kalau pak SBY selalu menyebutnya pasar GDP. Tahun 2013, ekonomi Indonesia diproyeksikan akan bisa tumbuh antara 6,3-6,8% dengan total nominal nilai GDP mencapai sekitar Rp 9.400 triliun lebih (angka pemerintah). Berarti sebesar itulah kira-kira minimal potensi pasar dalam negeri yang harus digarap.

Sebagai emerging market atau emerging economy, diharapkan pertumbuhan ekonominya dapat terus berlanjut dan meningkat dari waktu ke waktu di setiap tahun. Pasar dalam negeri benar-benar gemah ripah karena volume dan nilainya pasti akan terus meningkat.

Indonesia bisa menjadi medan magnit yang besar bagi para pebisnis. Siapa yang sigap, dialah yang akan dapat menikmati peluang bisnis GDB dimaksud. Belanja investasi, khususnya di sektor riil, pelaksanaannya membutuhkan barang dan bahan, sejak pembebasan lahan, tahap konstruksi, pengadaan teknologi/mesin peralatan utama dan penunjang s/d tahap produksi komersial.

Pada tahapan tersebut banyak produk dan jasa yang dapat ditransaksikan. Negara berhak mengatur agar transaksinya bisa mendatangkan manfaat ekonomi bagi para pemasok dari dalam negeri. Kalau tidak, maka total belanja investasinya akan dipenuhi sebagian/seluruhnya dari impor. Dengan demikian, negara perlu “intervensi” agar potensi pasar dari belanja investasi (produk dan jasa) dapat dimanfaatkan oleh sumber daya ekonomi domestik.

Kebijakannya harus diatur dalam UU penaman modal dan secara teknis diatur lebih lanjut dalam daftar negatif investasi (DNI). Insenif investasi diberikan dalam bentuk keringanan/pembebasan pajak bila TKDN-nya dalam belanja investasi mencapai jumlah tertentu (misal antara 25-50%).

Yang masih harus diimpor dapat diberikan BMDTP. Sedangkan potensi pasar dari belanja konsumsi domestik, khususnya konsumsi rumah tangga harus diarahkan agar pertumbuhannya dapat meningkatkan kapasitas atau produksi riil dari investasi yang sudah ada, karena secara teoritis pertumbuhan ekonomi yang disumbang oleh pertumbuhan belanja konsumsi domestik yang besar tidak selalu dan serta merta berhubungan langsung dengan peningkatan output atau produksi.

Syaratnya memang tidak mudah dipenuhi jika menggarap potensi pasar dari pengeluaran belanja konsumsi rumah tangga. Ada dua hal yang utama harus diperhatikan, yakni 1) Produsen dalam negeri harus memastikan dan menjamin bahwa produk yang ditawarkan, berkualitas, harga bersaing dan kapan saja, dimana saja dibutuhkan, barangnya tersedia. Sistem distribusi dan jaringan pemasarannya luas dan efisien. 2) Nasionalisme konsumen masyarakat Indonesia rendah, gaya hidupnya impor minded dari barang asli sampai yang palsu/imitasi.

Pemerintah harus menyiapkan pemicunya, yakni kepada para distributor, mal dan gerai/outlet yang memasarkan produk lokal lebih dari 50%, dapat diberikan tax rabate. Pemeintah perlu menetapkan target kwantitatif melalui pengukuran ratio antara penggunaan sumber daya lokal terhadap investasi PMTB dan terhadap besarnya nilai belanja konsumsi domestik.

Selama ini pengukuran yang seperti itu tidak dilakukan sehingga di masyarakat muncul diskursus seakan-akan pemerintah tidak peduli dengan soal pemanfaatan sumber daya nasional, sehingga muncul sentimen negatif, seperti menuding pemerintah hanya bisa menjual aset bangsa.

Opini ini memberikan sebuah isyarat bahwa di tingkat global, dewasa ini telah timbul kesadaran bahwa liberalisasi dan pasar bebas telah menghasilkan ketimpangan sosial yang makin tajam. Tingkat efisiensi dan produkifitas di level korporasi juga timpang.

Hal yang demikian telah menimbulkan kebangkrutan yang akhirnya mendistorsi pertumbuhan dengan akibat lebih lanjut pengangguran semakin meningkat yang bisa memicu terjadinya persoalan sosial baru. Ini harus dikoreksi tanpa harus melakukan proteksi berlebihan.

Oleh sebab itu, regulasi nasional harus ditata ulang untuk memberikan kesempatan agar pemanfaatan sumber daya nasional dalam investasi dan konsumsi domestik lebih optimal. ***

CATEGORIES
TAGS