SEMINAR NASIONAL TUBAS – “Hijau” Jadikan Keunggulan Industri

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

MEMBERI PENGARAHAN - Sesditjen IUBTT Syarif Hidayat saat tampil sebagai pemberi pengarahan pada seminar SKM Tubas di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. (tubasmedia.com/roris)

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Industri dapat dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi lima kriteria. Salah satu di, antaranya menjadikan program “hijau” sebagai keunggulan dalam berkompetisi. Kriteria lainnya, menjadikan prinsip keberlanjutan dalam setiap keputusan bisnis, memasok produk ramah lingkungan, mengimplementasikan prinsip pelestarian lingkungan, serta menginternalisasi aspek sosial dalam seluruh proses kegiatan.

Pendapat tersebut dikemukakan Drs. Fauzi Aziz, pensiunan pejabat tinggi Kementerian Perindustrian, pada seminar nasional “Strategi Pers Meliput Masalah Lingkungan” yang diselenggarakan Surat Kabar Mingguan Tunas Bangsa (Tubas) di Hotel Desa Wisata TMII Jakarta, Selasa, (7/5). Pembicara lainnya, Ir. S.M. Doloksaribu, M.Eng., pakar lingkungan dan Dosen Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, dengan moderator Enderson Tambunan, wartawan senior. Seminar itu dihadiri, antara lain, anggota Komisi VI DPR, Dr. Ir. Lili Asdjudiredja, Sekretaris Ditjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT), Syarif Hidayat, pejabat Kemenperin, dosen, pers dan mahasiswa.

Sebelum seminar, Penerbit Tubas meluncurkan buku Pesona Tetangga, yang ditulis Pemimpin Redaksi SKM Tubas, Sabar Hutasoit. Buku itu mengupas perkembangan infrastruktur dan fasilitas umum di Singapura dan Malaysia.

Fauzi Aziz, mantan Staf Ahli Menperin dan mantan Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM), mengatakan, tiga komponen penting agar proses keberlanjutan industri selaras dengan kelestarian fungsi lingkungan. Pertama, mengurangi pemakaian bahan kimia beracun, sumber daya alam yang langka, serta tidak bisa diperbarui. Kedua, mengurangi limbah dengan menerapkan sistem industri yang lebih efisien dalam mengubah bahan baku menjadi produk serta limbah menjadi produk ikutan (by product) yang berguna. Ketiga, mengubah desain, komposisi, dan kemasan produk untuk menciptakan produk hijau (eco product) atau produk yang lebih disukai lingkungan.

Dikemukakan, Indonesia, yang sedang giat membangun perekonomian, tidak bisa melepaskan diri dari masalah lingkungan. Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 secara eksplisit telah mengamanatkan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pembicara mengutip pendapat Prof. Dr. Ir. Surna Tjahja Djajadiningrat M.Sc., Guru Besar Lingkungan di ITB, yang menyebutkan, tiga hal mendasar yang diberlanjutkan oleh setiap kegiatan industri/bisnis, yakni, keberlanjutan keuntungan, keberlanjutan sosial (masyarakat), dan keberlanjutan eksistensi planet bumi atau lingkungan hidup.
Ketiga hal tersebut memberikan perspektif, yakni, kegiatan industri/bisnis tidak akan berkelanjutan jika tidak mampu memberlanjutkan keuntungan/profit. Kegiatan industri/bisnis dipengaruhi oleh peningkatan kesejahteraan konsumen. Keberlanjutan kesejahteraan masyarakat merupakan persyaratan bagi keberlanjutan kegiatan industri/bisnis.

Semakin sejahtera masyarakat semakin meningkat daya belinya. Kegiatan industri bergantung pada penggunaan sumber daya alam (air, sumber daya hayati, sumber daya mineral, dan lain-lain), yang hanya mungkin dapat berkelanjutan bila sistem alam terus berkelanjutan. Prinsip ini disebut triple bottom line, yakni profit, people, planet.

Memenuhi Kebutuhan

Pembicara S.M. Doloksaribu mengatakan, pencarian sumber daya alam (terbarui dan tak terbarui) dalam upaya memenuhi kebutuhan, terus-menerus meningkat, bahkan cenderung rakus. Pencarian rempah-rempah dan bahan makanan lain, bahan kayu, mineral, dan energi dari negeri-negeri di luar Eropa, telah membawa keadaan baru sekitar lima ratus tahun silam, ketika penjelajahan dunia baru menghasilkan kolonialisme dan eksploitasi empat benua di luar Eropa.

Dikemukakan, lima puluh tahun terakhir, sejak Musim Semi yang Bisu (Silent Spring) dari Rachel Carson menembus batas-batas kesadaran masyarakat Amerika dan dunia, kita mengalami pergumulan dan gerakan lingkungan baru, global, antarbangsa, lintas budaya, lintas agama, lintas ilmu dan lintas generasi. Kita memiliki agenda lingkungan yang rumit sejak Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm, 5-16 Juni 1972. Sejak konferensi yang pertama itu, berlangsung konferensi sepuluh tahunan yang menilai perkembangan atas keputusan tentang “Prinsip dan Aksi” di Stockholm.

Ia mengatakan, masalah pokok yang dihadapi dunia, jumlah penduduk yang sudah melampaui angka 7 miliar dan daya tampung bumi, atau lebih tepat biosfer, yang sudah terlampaui, yang mengharuskan tindakan nyata untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia tanpa mengabaikan hak hidup makhluk hidup lain, yang sesungguhnya juga bagian terkait dari manusia.

Terkait dengan itu, kepatuhan pada hasil pertemuan internasional, khususnya upaya mengurangi gas emisi rumah kaca atau karbon dioksida, harus dipatuhi secara konsisten dan berkesinambungan. Selain itu, pengendalian pertumbuhan penduduk harus lebih diperketat agar tekanan terhadap bumi, dengan menguras sumber daya alam, dapat dikurangi. (tim)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS