Serapan Anggaran

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

Ilustrasi

MEMASUKI tahun anggaran 2012 semua K/L di pusat maupun di daerah dibuat sibuk untuk menyiapkan rencana detil belanja 2012 dengan sasaran agar penyerapan anggaran pada kuartal I/2012 dapat mencapai 15% -20%.

Soal serapan anggaran ini menjadi penting karena pada tahun ini diharapkan konsumsi pemerintah dapat tumbuh antara 7,4-7,8% untuk menyumbang pertumbuhan PDB nasional yang diproyeksikan tumbuh 6,7%. Mencapai target tersebut tidak dapat dikerjakan secara as usual, tapi memerlukan kerja keras dan disiplin yang tinggi dan bertanggung jawab dalam manajemen pengelolaannya untuk menghasilkan output yang dapat mempengaruhi outcome dan dampak dari suatu progam dan kegiatan yang dijalankannya.

Output dalam satu kurun waktu tahun anggaran bisa diselesaikan, kecuali untuk kegiatan yang bersifat multi year. Outcome dan dampaknya tidak instan dapat dirasakan perubahannya oleh masyarakat, mungkin bisa lebih dari setahun sejak output dihasilkan. Dalam konteks optimalisasi pengelolaan anggaran agar dapat ditekankan bahwa kinerja yang patut dijunjung tinggi dari governancenya adalah bukan semata-mata tingginya serapan anggaran saja, tetapi juga harus ditekankan kepada dimensi output, outcome dan dampaknya pada saat anggaran digunakan atau digulirkan.

Apalah artinya serapan anggaran tinggi, bisa mencapai 90% lebih kalau outputnya tidak menghasilkan outcome dan dampak nyata bagi masyarakat. Jangan sampai melembaga dalam satu siklus anggaran para pengguna anggaran, para kuasa pengguna anggaran dan para pejabat pembuat komitmen disatu K/L hanya sibuk melakukan cek and recek hanya serapan anggaran dan abai terhadap kinerja anggaran yang fokus kepada output, outcome dan dampak.

Aspek-aspek ini perlu di garisbawahi kembali, karena hakekat pembangunan adalah mengubah kehidupan masyarakat, bukan hanya mengubah perekonomian saja. Public accountability dari sebuah politik anggaran disinilah letaknya, yaitu manakala anggaran telah digelontorkan, maka publik mempunyai ukuran yang baku, yaitu bahwa anggaran telah digunakan tepat waktu, tepat sasaran dan tepat jumlah dan output yang dihasilkannya dinilai telah menjawab kebutuhan masyarakat di lapangan dari NAD sampai Papua.

Tapi kalau yang terjadi sebaliknya maka ketidak puasan, cercaan yang akan terjadi dan ujung-ujungnya akan bisa menimbulkan dis-trust. Ini yang harus diperhatikan, jangan sampai menimbulkan persepsi yang salah dan kontra produktif di masyarakat bahwa yang dikejar oleh pemerintah dalam mengelola anggaran adalah hanya soal serapan anggaran saja.

Lebih jauh juga bisa kontra produktif bagi para pengguna anggaran di K/L bahwa orientasi pemanfaatan anggaran bukan lagi berbasis kinerja tapi berbasis serapan dan orientasi semacam ini harus dicegah agar tidak menimbulkan sikap untuk menyederhanakan soal tanggung jawab yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan moral hazard.

Sampai dengan September 2011, PDB nasional mencapai Rp 5.482,4 triliun, dimana 8,09% diantaranya disumbang oleh belanja pemerintah. Jumlah ini sebenarnya tidak menjadi sangat berarti bila dibandingkan dengan kontribusinya dari belanja konsumsi masyarakat 54,2%, investasi 31,2% dan kegiatan ekspor dan impor 24,9%.

Tapi pengeluaran belanja konsumsi pemerintah tersebut dapat menjadi sangat berarti bila kegiatannya memberikan pengaruh langsung ataupun tidak langsung bagi tumbuhnya kegiatan investasi dan ekspor, impor dan konsumsi rumah tangga sebagai dampak dari politik anggaran pemerintah digunakan secara tepat sasaran dan dapat menyelesaikan berbagai problem yang timbul di masyarkat.

Produk regulasi dan deregulasi, stimulus fiskal serta pelayanan publik yang cepat, murah dan efisien telah menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat. Artinya pemerintah sebagai pemegang kewenangan regulasi dan pelayanan publik yang hanya kurang dari 10% membelanjakan anggarannya dari total output ekonomi, tapi hasilnya (output-nya) bisa menghasilkan outcome dan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi akibat dari diterapkannya kebijakan secara tepat dan benar sehingga kegiatan investasi.

pengeluaran konsumsi masyarakat, ekspor dan impor dapat berkembang. Inilah esensi dan hakekat dari anggaran berbasis kinerja. Jadi, urgensi politik anggaran yang harus menjadi acuan jangan dikedepankan faktor serapannya saja, tapi lebih penting dari itu, yaitu bahwa setiap rupiah yang digunakan harus dapat menghasilkan output yang berkualitas dan dari output ini kemudian melahirkan outcome dan dampak yang positif bagi pembangunan dan perubahan.

Pertumbuhan ekonomi dan perbaikan taraf hidup masarakat kunci belanja pemerintah yang patut dicermati dan dikontrol secara ketat agar dapat menghasilkan output yang berkualitas adalah di pos belanja barang dan belanja modal dan belanja sosial. Pengguna anggaran dan kuasa pengguna anggaran harus punya cukup waktu untuk mengontrol dan mengendalikan progam dan kegiatan yang terkategorikan dalam ketiga pos pembelanjaan tersebut, baik di tingkat perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan.

Dengan cara ini mudah-mudahan politik anggaran dapat berjalan seiring dengan jalannya politik pembangunan. Apapun sistem anggaran nasional yang berlaku sekarang sebagaimana diatur dalam UU no 17 tahun 2003 dikatakan menganut azas single budget dan berbasis kinerja, tapi faktanya belum bisa seperti itu. Artinya secara implisit kita masih menjalankan sistem anggaran versi lama, yaitu ada anggaran rutin dan ada anggaran pembangunan dan sepertinya sistem ini lebih tepat untuk diakomadasi kembali.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS