Setiap Pasal dalam Pembuatan Undang-Undang Ada Harganya

Loading

IMG_0907.jpg2

Oleh : Fauzi Aziz

 

CERDIK pandai yang menjadi warga elitis di republik ini banyak yang punya pikiran “gatik”. Mereka seperti tidak puas dengan wajah negeri ini setelah menjadi negara demokrasi. Kecerdasan intelektualnya kelebihan energi sehingga otaknya gatal untuk bisa mengubah wajah dan postur Indonesia.

Kita berada di NKRI yang sudah terdesentralisasi. Daerah telah menjadi otonom, meskipun masih “netek” kepada induknya di pusat. Ada pikiran mau mengamandemen lagi UUD 1945 dan kalau dilakukan, berarti konstitusi kita akan mengalami perubahan kelima kali.

Arah konten dan konteks perubahan yang akan dilakukan tidak jelas. Yang pasti upaya ini hanya selera dan nafsu politik para elit yang haus kekuasaan karena memang kredibilitas para elit negeri ini dipertanyakan. Idiologi yang mereka anutpun pragmatisme yang transaksional sehingga kita ragu dan bertanya hendak dibawa kemana negeri ini jika amandemen UUD 1945 dilakukan kelima kali.

Sementara itu perilaku politik para elitnya adalah bekerja seperti “orang bayaran”. Konon setiap pasal dalam pembuatan undang-undang ada “harganya”, seperti beberapa waktu yang lalu terdengar ada pasal tembakau di DPR. Jangan-jangan dalam konteks global atau regional tangan-tangan tak tampak yang mau mengubah wajah Indonesia sebagai NKRI menjadi negara federal.

Secara logika publik, upaya tersebut masuk akal karena sistem sentralisasi tidak memiliki energi membangun daerah di kawasan timur Indonesia.

Ketimpangan jawa dan luar jawa hingga kini tak bisa diselesaikan karena untuk membangun kawasan timur Indonesia ongkosnya mahal. Negara dengan APBN Rp 2.000 triliun lebih pasti tak bisa menyulap Indonesia timur menjadi wilayah yang mampu menjadi egine of growth.

Indonesia timur tidak bisa dibangun dengan APBN. Tetapi harus dibangun oleh para kapitalis atau para pemilik modal yang berada di banyak negara. Untuk bisa ikut membangun wilayah-wilayah tertinggal di NKRI, para kapitalis pasti memerlukan legitimasi politik dari elit politik di negeri ini. Salah satu wahananya paling strategis adalah mengubah UUD 1945. Idiologi pragmatisme transaksional sangat mudah dipakai sebagai alat “dagang sapi” antara elit politik pengikut idiologi ini dengan para pemodal mancanegara yang ingin menguasai Indonesia secara ekonomi karena letak Indonesia sangat strategis dan kaya akan sumber komoditas penting di dunia.

Indonesia sering dikatakan sebagai real estate dunia yang kaya sumber daya alam. Oleh sebab itu, kuasailah Indonesia dengan cara melaksanakan politik “dagang sapi” tingkat tinggi. Apa yang disampaikan ini adalah imajinasi politik seorang warga negara biasa.

Pasti belum tentu benar apa yang diimajinasikan. Namanya saja berfikir imajinatif. Tapi diskursus tentang Indonesia berpotensi menjadi negara federal bukankah pernah mencuat ke ruang publik. Bahkan upaya Papua atau Aceh ingin memisahkan diri dari NKRI juga pernah mencuat sebagai bentuk “ancaman”.

Sepertinya elit negeri ini sudah seperti keberatan beban mengurus NKRI yang faktanya memang banyak menghadapi dilema dan trade off sebagai masalah dan tantangan pembangunan yang dihadapi bangsa ini.

Jurang ketimpangan pendapatan antar wilayah, antar sektor dan antar kelompok masih lebar dan ini yang seringkali dinilai menjadi ancaman terjadinya disintegrasi bangsa seperti sudah seringkali dibahas di dalam berbagai diskusi publik.

Dilema dan trade off yang acapkali muncul antara lain adalah memudahkan modal asing masuk vs kemandiriaan. Pertumbuhan vs pemerataan. Liberalisasi ekonomi vs proteksi ekonomi dan lain sebagainya.

Idiologi pragmatisme transaksional adalah faham yang amat rapuh dan menjadi entry point untuk bisa menguasai sumber daya ekonomi milik bangsa Indonesia. Negeri ini oleh para pengikut idiologi tersebut dapat “ditransaksikan” yang penting dapat upeti.

Kasus papa minta saham belum lupa dalam ingatan kita bukan? Mengubah pasal tembakau saja dengan mudah dilakukan. Mengubah pasal-pasal dan ayat dalam UUD juga tidak terlalu sulit jika mau dilakukan oleh tangan-tangan tak nampak yang ingin lebih mendapatkan legitimasi politik tingkat tinggi yang perilakunya hanya berfikir uang dan kenikmatan yang ada di otaknya.

NKRI adalah harga mati. Jangan terampil otak-atik Indonesia dengan rencana mau mengamandemen konstitusi negara. Siapa yang sesungguhnya berminat. Kita atau ada tangan-tangan yang tak menampakan diri yang minat menguasai Indonesia. Kalau asing yang berminat berarti kita mengorbankan kedaulatan demi uang.

Jika kita yang berminat berarti sebagian dari kita sudah tidak mau tahu melihat wajah Indonesia sebagai NKRI yang utuh. Upaya untuk memberlukan kwarganegaraan ganda adalah entry point bagi pihak-pihak yang tidak mau repot mengurus negeri ini dengan memberikan kesempatan kepada warga negaranya memiliki warga negara ganda.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS