Sinergi dan Koordinasi Butuh Kepemimpinan Kuat

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

KATA sinergi dan koordinasi sudah menjadi sebuah keniscayaan dan sekaligus kebutuhan dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan program. Apakah dalam rangka penyelenggaraan kebijakan dan program dalam organisasi publik maupun dalam organisasi bisnis.

Oleh sebab itu, sinergi dan koordinasi itu harus dikerjakan betapapun sulitnya. Kalau tidak, pasti akan memboroskan penggunaan sumber daya. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan memiliki berbagai macam kepentingan untuk dapat mencapai tujuan bernegara. Maka, para pemimpinnya harus berkemampuan tinggi untuk menyinergikan dan mengoordinasikan seluruh kepentingan di berbagai bidang.

Dengan demikian, ketika pada tahun 2014 seluruh rakyat Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden, mudah-mudah kita dapat menentukan pilihan dengan tepat.Yakni memilih sosok pemimpin yang kredibel dan berkemampuan tinggi untuk melakukan sinergi dan koordinasi yang efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan.

Titik lemah yang paling mendasar selama ini dari sistem manajemen pemerintahan dan ketatanegaraan adalah berada pada simpul sinergitas dan koordinasi. Keduanya kita butuhkan sebagai enabling factor untuk mencapai sebuah tujuan penyelenggaraan sistem pemerintahan dan pembangunan yang efisien dan efektif.

Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang berhasil mengelola kebijakan fiskal dan moneter dengan menerapkan asas prudensial yang disiplin.Tetapi pada sisi implementasi sejatinya belum berhasil menegakkan disiplin karena masih terlalu boros menggunakan APBN/APBD, karena sinergi dan koordinasi program dan pelaksanaannya sangat lemah.

Semuanya ini terjadi karena faktor kepemimpinan yang buruk.Hal yang demikian tidak hanya terjadi pada tataran level kepemimpinan pengambil kebijakan, tetapi terjadi di hampir semua lini organisasi di tingkat pelaksanaan pada masing-masing kementerian/lembaga. Banyak program tidak bisa dieksekusi, karena faktor lemahnya sinergi dan koordinasi. Koordinasi pada dasarnya hanya terjadi pada rapat-rapat saja, tetapi tidak berhasil ketika sebuah kebijakan dan program harus disinergikan pada tataran perencanaan dan pelaksanaannya.

Titik Optimal

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak akan pernah bisa mencapai titik yang optimal dilihat dari aspek manajemen pembangunan. Nilai inputnya masih terlalu boros, sedangkan nilai output-nya tidak maksimal karena faktor input-nya mahal. Akibatnya nilai tambah yang terbentuk tidak terlalu besar.

Artinya, pertumbuhan ekonomi yang selama ini diraih masih dibayar dengan biaya input yang relatif tinggi. Contoh yang sudah banyak diungkap adalah tingginya biaya logistik yang mencapai sekitar 25% dari total PDB. Hal yang demikian terjadi akibat dari penyediaan infrastruktur fisik yang terbatas dan kualitasnya buruk. Penyediaan infrastruktur dibangun dengan cara parsial dan interkonektivitasnya tidak menjawab kebutuhan pelayanan logistik yang efisien akibat sistemnya dibangun atas dasar sekat-sekat administrasi yang ketat berbasis kewenangan.

Permasalahan seperti itu yang membuat pelaksanaan pembangunan di Indonesia mengalami trade off sejak di proses perencanaan sampai di tingkat pelaksanaan.

Contoh lain yang terjadi di tingkat pusat adalah adanya dua sistem perencanaan nasional yang “tumpang tindih”, yaitu RPJMN yang dikoordinir oleh Bappenas. Sistem ini dikembangkan atas perintah UU RPJP Nomor 17/2007. Di pihak yang lain ada sistem perencanaan yang kita kenal dengan MP3EI dikoordinir oleh kantor Menko Perekonomian yang ditetapkan dengan perpres yang di dalam UU Nomor 17/2007 tidak diamanatkan.

Sudah barang tentu hal yang seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi, karena di samping membingungkan juga menyebabkan penggunaan sumber daya menjadi boros. Ke depan masalah yang terkait dengan aspek kelembagaan ini harus diperbaiki. Kerangka regulasi, kerangka kebijakan, dan program yang bersifat strategis pada skala nasional dan regional di dalam negeri tidak sepatutnya tidak disekat-sekat atas pertimbangan kewenangan administrasi. Sistemnya harus bersifat integratif, baik pada level saat rencana disusun maupun bersifat integratif saat rencana itu dieksekusi baik di pusat maupun daerah.

Opini ini memberikan catatan kritis bahwa soal utama di republik ini sejatinya lebih disebabkan oleh masalah manajemen dan kepemimpinan. Sinergi, koordinasi, dan kepemimpinan, adalah isu sentral yang patut dibenahi. Inefisiensi terjadi karena tiga faktor tersebut. Semoga isu tentang sistem kelembagaan ini akan mendapat perhatian penuh oleh kabinet mendatang, dan sistem itu hanya akan berhasil jika kepemimpinan nasional kredibel, berwibawa, kuat dan dinakhodai oleh sosok pengambil keputusan yang andal. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS