Soal Harga Gas, Archandra; Negara Tak mau Kehilangan Uang Triliunan Rupiah untuk Sesuatu Yang tak Berarti

Loading

7e7268f0-1cd2-462c-9e59-ee3

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, tak mau mengobral gas murah untuk industri. Sebab, penurunan harga gas akan mengorbankan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Arcandra tak mau negara berkorban sia-sia, kehilangan uang hingga triliunan rupiah untuk sesuatu yang tak ada artinya.

Harga gas yang ‘didiskon’ hingga di bawah US$ 6/MMBtu hanya akan diberikan kepada industri-industri yang menciptakan multiplier effect signifikan. Prioritas utama harga gas murah akan diberikan kepada industri-industri strategis yang menggunakan gas bumi sebagai bahan baku, bukan sekedar bahan bakar, misalnya pupuk dan petrokimia.

Sebanyak 70% bahan baku pupuk adalah gas. Lalu pupuk akan digunakan oleh puluhan juta petani di seluruh Indonesia. Kalau harga pupuk bisa lebih efisien, pendapatan para petani bisa meningkat, harga pangan juga bisa lebih terjangkau masyarakat. Sedangkan petrokimia adalah bahan baku untuk berbagai industri lainnya. Itulah alasan keduanya didahulukan dalam penurunan harga gas.

“Harga bergantung industri. Yang menjadikan gas sebagai bahan baku itu yang akan kami fokuskan untuk kami kurangi harganya. Industrinya beberapa sudah keluar, misalnya pupuk dan petrokimia. Jadi kita fokus ke beberapa industri saja, nggak semuanya,” kata Arcandra, saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (14/11/2016) malam.

Dari 11 industri prioritas yang diajukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), belum pasti semuanya bisa mendapat penurunan harga gas. Arcandra meminta kalkulasi yang cermat. Kalau ternyata penurunan harga gas tidak berdampak signifikan pada penurunan biaya produksi dan peningkatan daya saing industri tersebut, lebih baik tidak usah diberikan.

“Tergantung hitungannya, mana yang komposisi terbaik, industrinya sedang kita evaluasi yang mana,” tegas Arcandra.

Misalnya untuk industri yang hanya menggunakan gas sebagai bahan bakar, mungkin penurunan harga gas sampai 50% cuma membuat biaya produksi turun 5%, dampaknya kecil.

“Kami fokus ke yang multipiler effect-nya, kalau harga gas dikurangin berapa revenue-nya akan naik. Jangan sampai kita kurangi harga gas sampai setengahnya, revenue-nya cuma naik 5 persen,” paparnya.

Selain itu, kalau ternyata harga gas sudah didiskon negara dan industri tersebut tetap tidak kompetitif dibanding produk-produk dari negara lain, tentu juga percuma. Makanya industri penerima gas murah harus diseleksi ketat supaya tepat sasaran.

Harga gas untuk masing-masing industri bisa berbeda, akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi. “Kami hitung sesuai dengan keekonomiannya agar industri tersebut bisa berkembang,” kata Arcandra.

Sebagai informasi, dari rata-rata harga gas untuk industri di Indonesia sebesar US$ 8,3/mmbtu , PNBP berkontribusi US$ 0,92/mmbtu, dan pajak penghasilan (PPh) US$ 1,19/mmbtu. Bila negara mengorbankan PNBP dan PPh ini, harga gas bisa turun US$ 2,11/mmbtu. Rata-rata harga gas di hulu bisa turun dari US$ 5,9/mmbtu menjadi US$ 3,82/mmbtu.

Kalau seluruh PNBP dari gas dihapus, penerimaan negara berkurang US$ 550 juta atau sekitar Rp 7 triliun per tahun. Sedangkan kalau PNBP dan PPh dari gas semuanya dihapus, penerimaan negara hilang US$ 1,263 miliar atau Rp 16,33 triliun. Jika Rp 16,33 triliun ini dikorbankan, multiplier effect yang diciptakan industri harus lebih dari itu. (red)

TAGS