Tanah

Loading

oleh: Edi Siswoyo

Ilustrasi

Ilustrasi

KITA sering menyaksikan perseteruan yang disebabkan masalah tanah. Konflik berskala besar dan kecil terjadi di banyak tempat di muka bumi ini. Alasanya, pemicunaya macam-macam. Ada yang disebabkan oleh tapal batas wilayah negara. Ada pula karena penyalahgunaan hak guna usaha tanah. Tidak ketinggalan alasan pemanfaatan kekayaan yang dikandung di dalam tanah.

Tapi yang pasti, di planet bumi ini tanah menjadi semakin penting. Luas tanah tidak bertambah malah cenderung berkurang karena faktor alam. Manusia yang membutuhkan tanah terus bertambah. Ketidakseimbangan itu menimbulkan gonjang – ganjing tidak hanya di permukaan bumi, juga pada susunan planet tata surya di ruang angkasa. Sebagai sumber daya dengan kekayaan alam yang dikandung dalam perut bumi pun semakin langka. Sejak baheula manusia tidak henti-hentinya mengeksplorasi dan mengekploitasi isi perut bumi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sejarah mencatat, ketamakan manusia telah ikut memicu terjadinya Perang Dunia (PD) pertama dan kedua yang banyak menimbulkan korban dan kerusakan. Meski PD ketiga yang “panas” tidak terasakan lagi, namun kerakusan manusia masih tetap menjadi faktor pemicu meledaknya perang panas di sebagian belahan dunia.

Di Indonesia orang umumnya berpandangan tanah sebagai sesuatu yang “sakral”. Tanah diyakini sebagai pemberian Tuhan yang harus dijaga dan dirawat dengan baik. Sebagai negara agraris, tanah menjadi sumber kehidupan dan penghidupan rakyat. Konstitusi negara (UUD 1945) secara tegas memberi kewenangan kepada negara untuk menguasai–mengatur–pemanfaatan tanah. Dalam sebuah pasalnya UUD 1945 secara jelas dan tegas mengamanatkan “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Pesan itu cukup terang dan jelas. Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberi kewenangan kepada penyelengara negara–pemerintah–menguasai dan memanfaatkan tanah dan kekayaan di dalamnya untuk digunakan bagi kemakmuran bersama. Nah, pesan “menguasai”, “menggunakan” dan “kemakmuran rakyat” yang tertulis dalam konstitusi tidak jarang menjadi sumber perseteruan antar kelompok masyarakat dan konflik antara rakyat dengan negara negara.

Buktinya? Perseteruan di Nusa Tenggara Barat terkait eksplorasi tambang emas oleh perusahaan asing. Konflik eksploitasi isi perut tanah Papua oleh Freeport dari Amerika Serikat. Dan, masih banyak lagi di tempat lain. Peseteruan dan konflik itu sebettulnya tidak perlu terjadi kalau saja para penyelenggara negara memahami dan melaksanakan bunyi pasal UUD 1945 secara baik dan benar. Sayangnya, pasal itu hanya dijadikan hiasan dalam lembaran undang-undang dan retorika dalam pidato dan sambutan pejabat negara !***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS