Tanggungjawab Pidana Tetap Pada “Barang Siapa…”

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

SELURUH ketentuan pasal terancam jenis kejahatan apa pun yang ditegaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maka pertanggungjawaban subjek hukumnya telah dinyatakan secara absolut tetap pada “Barang Siapa…dst”.

Kalimat “Barang Siapa” ini tak mungkin dapat ditafsirkan kecuali hanya menegaskan bahwa soal pertanggungjawaban perbuatan pidana mutlak hanya pada pelaku dan delik penyerta yang tidak dapat diwakilkan atau diwalikan oleh atau kepada siapa pun.

Namun mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak (UU-PA), terhadap pelaku di bawah umur tentu saja prosesnya harus diposisikan secara khusus sejak di tingkat penyidikan, penuntutan hingga ke tingkat peradilan.

Saat menyidik, penyidik tentu saja tidak dengan berpakaian dinas Polri melainkan dengan menggunakan pakaian preman, sama dengan aparat kejaksaan saat penyusunan surat dakwaan dan tuntutan hukum. Begitu juga saat di pengadilan sesuai hukum beracara disamping persidangannya dinyatakan tertutup untuk umum, majelis hakim yang menyidangkan pun tidak menggunakan jubah/toga selain pakaian biasa.

Perlakuan khusus terhadap tersangka dibawah umur, saatnya diberlakukan bagi tersangka Dul putra bungsu buah pernikahan Ahmad Dhani (AD) dengan Maia Estianty (ME) mantan istrinya itu.

Kecelakaan maut di Tol Jagorawi pekan lalu yang melibatkan Dul sangat menyentak publik. Korban bergelimpangan hingga tujuh orang meninggal dunia dan seketika itu 13 anak menjadi yatim dan yatim piatu. Dul juga dalam kondisi sekarat empat kali dioperasi akibat cidera berat hingga kini masih dirawat di RS Pondok Indah. Silang pendapat pun bermunculan soal pertanggungjawaban hukum.

Dul yang baru berusia 13 tahun itu menyetir mobil pembawa maut kini jadi tersangka. Banyak pihak yang menyalahkan AD dan meminta musisi asal Surabaya itu menggantikan hukuman yang bakal dijatuhi kepada Dul, namun tidak masuk akal. Sebab perbuatan pidana tidak bisa diwalikan atau diwakilkan. Artinya siapa yang berbuat dialah yang bertanggungjawab.

Kalau pun AD dapat dipertanggungjawabkan atas semua peristiwa itu karena dialah yang diputus pengadilan sebagai pemilik hak asuh atas perwalian anak-anaknya. Namun dengan perwalian itu AD hanya dapat dipertanggungjawabkan secara perdata bagi anaknya, bukan masalah pidana terkait kecelakaan maut menggemparkan itu.

Seperti supir bus yang menabrak orang, supirnya tetap dihukum tapi pemilik bus yang bertanggungjawab membayar semua kerugian. Jika ditilik dari causalitas psikologis Dul, tentu saja tak lepas dari latar belakang perceraian AD dengan ME kedua orang tuanya ini. Coba jika orang tuanya tidak bercerai kehidupan keluarga mereka mungkin tidak berantakan seperti saat ini.

Oleh karena itu AD tetap bisa terancam hukuman pidana jika penyidik menjerat adanya pelanggaran pasal 77 UU-PA No. 23 Tahun 2002 tentang penelantaran anak dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 100 juta, tergantung penyidik, apakah akan menggunakan pasal tersebut atau tidak. Perbuatan Dul itu terjadi harus dilihat dari faktor-faktor bapaknya.

Bapaknya mengetahui atau tidak, apakah ada kesengajaan atau kelalaian membiarkan anaknya mengendarai mobil. Kesengajaan atau kealpaan itu ada hukumannya. Hak perwalian Dul dan kedua kakaknya yang berada pada AD sangat terancam. Kemungkinan hak itu dicabut oleh pengadilan sangat besar karena AD dianggap gagal mengasuh anak-anaknya, nyatanya bisa kebobolan tidak terdeteksi.

Maka seharusnya bapaknya bertanggungjawab. Dengan kata lain hak asuh bisa diberikan ke ME selaku ibu kandung Dul. Masyarakat agar tak langsung memberikan penilaian buruk kepada Dul. Perbuatan Dul yang masih dibawah umur harus dilihat secara menyeluruh dan ada musababnya. Mengapa perilaku seperti itu terjadi pasti daur ulang dari didikan orang tuanya.

Apa yang dilihat, rasakan dalam lingkungan keluarga, Dul mengadaptasi itu sebagai bagian dari kehidupannya. Jikalau orang tua Dul dalam ketahanan keluarganya hancur, maka otomatis Dul akan mengadaptasi apa yang terjadi dalam keluarganya itu. Idealnya anak diasuh pasangan suami-istri sehingga kasih sayangnya seimbang.

Maka justru harus dilihat bahwa Dul adalah korban salah asuh dan kelalaian orang tuanya. Jika terbukti kedua orang tuanya tahu Dul membawa mobil sendiri maka AD-ME dapat disangkakan melakukan perbuatan lalai dan membiarkan terjadinya kecelakaan itu.

Di dalam UU-PA, mereka bisa dikenakan gugatan perdata oleh pihak keluarga para korban dan juga sanksi perdata yaitu hukum pemberatan, dicabut hak kuasa asuhnya, untuk sementara diambil oleh negara sampai orang tua itu menyatakan kesiapannya untuk mengasuh.

Antara pihak Dul dengan para korban bisa saja menempuh jalan damai selama itu memenuhi rasa keadilan. Namun perdamaian perdata tidak otomatis dapat menghapuskan proses peradilan pidana. Dul tetap harus dihadapkan ke meja hijau dengan menyertakan UU-PA pendampingan pasal 310 KUHP tentang kelalaian mengakibatkan korban meninggal dunia. Ini semata-mata untuk melindungi psikologi Dul.

Bahkan ada baiknya sampai saat ini Dul jangan dulu diberi tahu soal jumlah korban berapa banyak. ***

CATEGORIES
TAGS