Site icon TubasMedia.com

Tax Amnesty antara Harapan dan Kenyataan

Loading

images.jpgaaaaaaaaaaaaaaaa

Oleh: Fauzi Aziz

 

BARU saja RUU tax amnesty disetujui DPR menjadi Undang-undang. Berdasarkan penjelasan pemerintah, pengampunan pajak akan diberikan hingga Maret 2017 dan total pajak yang akan diterima Rp 165 triliun dan dimasukkan dalam perhitungan APBN.

Jika kita asumsikan akan berlaku efektif mulai Agustus, maka akan ada waktu 8 bulan masa pengampunan hingga Maret 2017. Berarti tiap bulan akan ada pajak yang diterima pemerintah rata-rata Rp 20,62 triliun tiap bulan.

Sebuah pekerjaan yang tidak ringan menjaring penerimaan sebesar itu dalam hitungan waktu pendek. Banyak pro kontra atas penerapan kebijakan tax amnesty tersebut. Tapi keputusan sudah diambil. Harapannya adalah antara aturan dan tindakan eksekusinya harus seia-sekata dan benar-benar efektif. Repatriasi dana tunai yang benar-benar akan masuk ke sistem keuangan nasional mencapai Rp 1.000 triliun.

Asumsinya, aset bersih yang dideklarasikan Rp 3.500 hingga Rp 4.000 triliun. Pertanyaan awam adalah apakah aset bersih yang dideklarasikan sebesar itu mau mudik benaran atau hanya berhenti sampai tahap deklarasi saja, tapi eksekusinya nol atau paling tidak, hanya sedikit yang benar-benar mau masuk ke sistem keuangan nasional. Artinya masih tetap bermukim di negara dimana aset tersebut selama ini ditempatkan.

Akibatnya yang benar- benar masuk hanya pajaknya saja karena ada pengampunan. Jika sekiranya dana tersebut benar-benar masuk, apa ada iming-iming lagi dari pemerintah atas rencana pemanfaatannya di dalam negeri.

Potensi yang paling cepat bisa diharapkan pemilik aset adalah masuk ke pasar keuangan dan pasar modal. Ini-pun masih tergantung dari daya tarik nilai manfaat yang diukur dari yield dan capital gain yang akan mereka terima.

Kalau imbal hasilnya sangat menarik dibandingkan dengan jika investasinya di negara lain, maka dana tersebut sangat mungkin akan diinvestasikan di dalam negeri. Untuk yang kesekian kalinya orang awam juga berfikir karena uang tersebut adalah miliknya orang Indonesia, maka boleh jadi demi menghormati kebijakan pemerintah, uang tersebut masuk ke Indonesia hanya sekedar numpang lewat. Pasalnya mereka lebih merasa nyaman uangnya ditempatkan  di luar negeri.

Yang terjadi, dana tersebut keluar lagi dan tindakan ini tidak bisa dicegah karena Indonesia masih menganut rezim devisa bebas. Jadi jika me reka bawa kabur ke luar, pemerintah tidak bisa melarang, termasuk otoritas moneter.

Mereka toh sudah merasa membayar pajak dari tindakan pengampunan yang diberikan. Semua berpulang pada dua hal ketika dananya sempat pulang kampung. Pertama tergantung iklim investasi di dalam negeri. Kedua, tergantung nasionalisme para pemilik aset. Sebab uang tidak mengenal nasionalisme, kecuali para pemiliknya.Yang perlu dijaga dan dicermati adalah adanya konsesi-konsesi yang by hand dijanjikan berbagai fasilitas dan kemudahan di luar yang ada di dalam aturan formal.

Potensi seperti “kasus” minta saham bisa saja terjadi. Mengapa ini perlu diwaspadai, karena para pemilik dana sebagian mempunyai relasi dan koneksi dengan penguasa. Berikutnya, hal yang juga perlu dipikirkan adalah kalau mereka mau didorong berinvestasi di sektor produktif seperti dalam pembangunan pabrik-pabrik baru atau di sektor lain yang prospeknya menjanjikan adalah bukan perkara mudah karena bagi investor/pemilik dana segar ketika akan menanamkan modalnya, cenderung memilih berinvestasi di sektor portofolio ketimbang memilih investasi  di sektor riil.

Hanya mereka yang berstatus industriawan saja yang masih mau berfikir menamkan modalnya membangun pabrik baru di Indonesia. Mereka lebih memilih melakukan take-over atau akuisi dari perusahaan yang sudah jalan daripada harus mendirikan pabrik baru.

Sebenarnya kalau pemberlakuan UU Tax Amnesty dilengkapi dengan penetapan satu daerah tertentu di Indonesia sebagai tempat surga pajak (tax heaven), seperti Labuhan di Malaysia dan rezim devisa control diberlakukan, maka kebijakan ekonomi yang dihasilkan makin komprehesif dan efektifitasnya memberikan dampak pertumbuhan bisa lebih diharapkan.

Tetapi karena pemerintah sudah kebelet dengan hal-hal bersifat instan, inilah hasilnya, melahirkan UU Tax Amnesty sebagai “uji coba” dan “uji nyali” sambil “menggertak” agar para “pengemplang” pajak yang menaruh dananya di luar negeri mau mudik. (penulis adalah pemehati masalah sosial ekonomi dan industri).

Exit mobile version