Terbentuknya Inacham di Hong Kong Perkuat Kerja Sama Sektor Industri

Loading

BERBINCANG – Sekjen Kementerian Perindustrian Haris Munandar (kanan) berbincang dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita (kiri) sebelum acara Peresmian Indonesia Chamber of Commerce (Inacham) di Hong Kong, 30 November 2017 (tubasmedia.com/ist)

 

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Kementerian Perindustrian mengapresiasi upaya Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong dan komunitas bisnis Indonesia-Hong Kong yang telah menginisiasi terbentuknya Indonesia Chamber of Commerce (Inacham) di Hong Kong.

Organisasi ini dapat memperkuat jejaring dan kerjasama di antara pelaku industry kedua negara.

“Kami mendukung penuh terbentuknya Inacham Hong Kong. Semoga Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi dari Hong Kong, dan sebaliknya semakin banyak peluang bagi perusahaan Indonesia yang memperluas pasar di Hong Kong,” kata Sekjen Kemenperin Haris Munandar ketika menghadiri Upacara Peresmian Inacham di Hong Kong, Kamis (30/11).

Sekjen menjelaskan, saat ini merupakan momen yang tepat bagi para investor menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini seiring dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui berbagai langkah strategis seperti penerbitan sejumlah paket kebijakan ekonomi. “Sehingga dapat memudahkan pelaku usaha berbisnis di Indonesia,” ujarnya.

Terlebih lagi, merujuk laporan tahunan Bank Dunia terkait peringkat Ease of Doing Business (EoDB) 2018, peringkat kemudahan berusaha Indonesia di 2018 secara keseluruhan naik 19 peringkat dari posisi ke-91 menjadi posisi 72 dari 190 negara yang disurvei. Pada EoDB 2017, posisi Indonesia juga meningkat 15 peringkat dari 106 menjadi 91. Tercatat dalam dua tahun terakhir posisi Indonesia naik 34 peringkat.

“Bahkan, selain telah mengusulkan harga energi industri yang kompetitif, kami juga telah mengajukan suatu skema insentif baru bagi industri di dalam negeri agar kinerjanya semakin produktif dan berdaya saing global,” ungkap Haris.

Insentif fiskal tersebut akan diberikan kepada industri yang berkomitmen melakukan pengembangan pendidikan vokasi dan inovasi serta industri padat karya berorientasi ekspor.

Sekjen juga menyampaikan, pihaknya tengah gencar menjalankan program pendidikan dan pelatihan vokasi untuk menciptakan tenaga kerja yang kompeten sesuai kebutuhan dunia industri saat ini. Apalagi, dalam menghadapi era revolusi industri ke-4 atau Industry 4.0. “Antara lain melalui link and match antara SMK dengan indusri serta pelatihan 3in1,” tuturnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja industri pengolahan non-migas pada triwulan III tahun 2017 tumbuh sebesar 5,49 persen atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,06 persen. Capaian ini ditopang oleh subsektor industri yang mengalami pertumbuhan tinggi, antara lain industri logam dasar sebesar 10,60 persen, industri makanan dan minuman 9,49 persen, industri mesin dan perlengkapan sebesar 6,35 persen, serta industri alat angkutan 5,63 persen.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berpandangan bahwa Indonesia dalam proporsi ekonominya dapat dikategorikan sebagai sebuah Negara industri. Pasalnya, sektor industri merupakan kontributor terbesar bagi perekonomian nasional dengan sumbangannya mencapai lebih dari 30 persen.

Menurutnya, sesuai kesepakatan di World Economic Forum, aktivitas industry dinilai sebagai sebuah proses yang terjadi di dalam dan luar pabrik. Bahkan, sampai ke konsumen membuat produk daur ulang. “Hingga Agustus 2017, penyerapan tenaga kerja di sektor industri sebanyak 17,01 juta orang atau 14,05 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Selain itu, kontribusi pajak dari sektor industri mencapai Rp 224,9 triliun,” ungkapnya.

Menteri Airlangga menambahkan, potensi pasar ekspor saat ini masih cukup luas. Oleh karenanya, industri nasional perlu didorong untuk mengkombinasikan tujuan pemasaran produknya, selain membidik pasar domestik. “Pemerintah tengah berupaya menyelesaikan perjanjian-perjanjian internasional agar produk lokal yang kita andalkan untuk ekspor tidak terganggu,” tegasnya.

Di samping itu, Menperin melihat proses manufaktur di ASEAN semakin terhubung dengan rantai nilai dan rantai pasok di dunia serta aktif melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. “Kami meyakini ASEAN pada decade selanjutnya dapat menjadi wilayah yang memimpin menjadi future of production, dengan basis internet of everything sabagai infrastruktur utamanya,” ungkapnya.

Menperin optimistis target tersebut bisa terwujud karena ASEAN memiliki potensi yang kuat untuk mencapainya, dengan keunggulan besar yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi regional yang stabil dan persentasenya lebih besar dari pada pertumbuhan ekonomi dunia.

“ASEAN didukung oleh beberapa faktor enabler lainnya, seperti populasi penduduk usia muda, kelas menengah yang tumbuh, infrastruktur digital berkembang, transformasi industri kecil dan menengah ke arah digital, serta konektivitas antar manusia,” paparnya. (roris)

CATEGORIES
TAGS