Site icon TubasMedia.com

Tidak Diterima Akal Sehat Mengabulkan PK Buronan

Loading

Oleh: Marto Tobing

ilustrasi

ilustrasi

TERLEPAS dari permasalahan dihukum tidaknya Sudjiono Timan (ST) atas kejahatan korupsi yang berhasil dibuktikan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Tingkat Kasasi Mahkamah Agung (MA), hingga terungkapnya merugikan keuangan negara sebesar Rp 396 miliar, yang pasti tidak boleh ada alasan apapun yang tak dapat diterima akal sehat untuk mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari seorang buronan.

Sehingga konsekuensi yang harus diterima atas keputusan MA terlanjur mengabulkan permohonan PK atas nama koruptor ST, adalah benar-benar tidak sah. “Bagaimana mungkin seorang berstatus buron permohonan PK nya bisa dikabulkan,” tandas mantan Ketua MA Bagir Manan menanggapi konfirmasi tubasmedia.com saat ditemui Jumat (30/8) siang di kantor Dewan Pers Jln. Kebon Sirih Jakpus.

Sebagai mantan Ketua MA dan pensiunan PNS, Bagir Manan kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers. “Saya berpendapat bukan karena kebetulan saya yang putus kasasinya waktu itu. Yaah, kalau saya yang jadi hakim PK maka PKnya tidak akan saya terima,” tegas Bagir Manan lagi seraya mengisyaratkan ada beberapa dasar untuk menolak pengajuan PK yang dimohonkan setiap terpidana termasuk atas permohonan terpidana koruptor ST.

Dasar penolakan pertama adalah prosedur PK yang diajukan ST tidak dibenarkan. Sebab PK itu diajukan oleh isterinya. “Isteri itu bukan ahli waris karena terpidana belum mati. Ahli waris dari keluarga boleh mengajukan selama yang bersangkutan atau terpidana itu menolak mengajukan PK atau karena dalam keadaan sakit dan itu perlu dipertanyakan kembali,” jelas Bagir Manan.

Ditambah lagi hingga saat ini ST masih berstatus sebagai buronan. Ini artinya dengan sengaja ST telah bersikap melawan putusan hakim. “Menurut saya hakim harus menjaga dan punya harga diri sebab dengan kaburnya ST sama saja telah meremehkan hakim. Mestinya majelis hakim PK sadar akan hal itu,” ujar Bagir Manan mengakhiri percakapannya bersama tubasmeda.com.

Ditemui secara terpisah, mantan Ketua MA lainnya seperti Harifin Andi Tuppa justru menitik beratkan sorotannya pada aspek komposisi majelis hakim yang menangani persidangan PK yang menjatuhkan vonis bebas bagi terpidana ST.

Komposisi majelis hakim yang dibentuk itu dinilai telah menyalahi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sebab sebagaimana diatur dalam UU dimaksud komposisi hakim yang menangani perkara korupsi sebaiknya terdiri dari tiga hakim ad hoc dan dua hakim karir. Sedangkan yang terjadi komposisi hakim yang menangani perkara mantan Direktur PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) salah satu perusahaan BUMN ini justru ditangani oleh tiga hakim karir dan dua hakim ad hoc sehingga komposisinya menyalahi UU Tipikor.

Tiga hakim karir dimaksud terdiri dari Hakim Agung Suhadi, Hakim Agung Andi Samsan Nganro dan Hakim Sri Murwahyuni. Sedangkan dua hakim ad hoc yang mendampingi ketiga hakim karir dimaksud adalah Hakim Shopian Marthabaya dan Hakim Abdul Latief.

Menurut UU Tipikor komposisi yang benar harus sebaliknya yakni tiga hakim ad hoc didampingi oleh dua hakim karir. ST dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenangnya hingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 396 miliar menjadi pupus pada sidang tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2002, ST divonis bebas.

Jaksa yang sudah sedemikian bersusah payah memperoleh minimal dua alat bukti atas kejahatan korupsi ST kemudian diperkuat lagi keterangan sejumlah saksi-saksi di bawah sumpah yang memberatkan, tentu tidak menerima begitu saja atas kemurahan majelis hakim melepas ST dari jerat hukum. Jaksa pun mengajukan kasasi.

Dua tahun kemudian tepatnya tahun 2004 putusan kasasi menguatkan tuntutan jaksa dengan menetapkan ST dihukum 15 tahun penjara. Sayangnya, vonis majelis hakim kasasi itu tetap saja hanya sekedar ketukan palu tanpa realisasi pelaksanaan eksekusi. Sebab begitu mengetahui bakal menjalani kehidupannya selama 15 tahun di kerangkeng sel tahanan, ST langsung kabur.

Dari persembunyiaannya itulah sang buronan memanfaatkan isterinya untuk mengajukan permohonan PK. Permohonan PK pun diterima di PN Jaksel untuk diteruskan ke MA menyusul terbentuknya komposisi majelis hakim yang menyidangkan kasusnya di tingkat PK pada tahun 2013. Tentu saja temuan novum (bukti baru) mengakhiri sidang menyusul vonis bebas terhadap ST yang sebelumnya telah divonis 15 tahun oleh majelis hakim di tingkat kasasi. ST divonis bebas dinilai tidak bersalah.

Menyikapi putusan hakim PK tersebut, Jaksa Agung Basrief Arief bereaksi keras. “Mengacu pada pasal 264 ayat 1 KUHP, PK hanya dapat diajukan ke MA oleh terpidana atau ahli waris dari terpidana yang sudah meninggal dunia,” tandas Jaksa Agung menanggapi TubasMedia.Com sesaat memasuki mobil dinasnya usai jam dinas, Jumat (30/8) petang. ***

Exit mobile version