TPT Vietnam Lampaui Indonesia

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

ilustrasi

JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Sektor industri tekstil dan produk tesktil (TPT) Indonesia perlu mawas diri menyusul gerak cepat Vietnam yang telah menyalib posisi Indonesia di pasar internasional. Posisi Vietnam yang nilai ekspornya mencapai US$ 18 miliar, kini berada di atas Indonesia yang masih berkutat pada angka US$ 12 miliar.

Demikian benang merah dari hasil wawancara tubasmedia.com dengan Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto, Direktur Industri Tekstil dan Aneka, Ramon Bangun dan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat di Jakarta kemarin.

Menurut Ade, gerak langkah Vietnam yang meninggalkan posisi Indonesia harus dilihat ini sebagai sinyal negatif terhadap pertumbuhan industri TPT nasional, khususnya dalam memasuki Pasar Tunggal Asean (PTA) 2015.

Banyak faktor kata Ade membuat Vietnam bisa lebih unggul saat ini di bidang industri TPT. Pertama, bersatunya pihak pemerintah dengan dunia usaha dalam memenangkan persaingan di pasar global. Kedua, kesediaan pemerintah Vietnam memberikan keringanan kebijakan kepada pelaku usaha. Ketiga, rendahnya tingkat suku bunga bank. Keempat, sederhananya pengurusan izin yang hanya melalui dua pintu.

Hal pokok yang keempat ini kata Ade merupakan soal yang amat urgent diperhatikan, pasalnya, di Indonesia, seorang pengusaha yang ingin mengurus izin atau perpanjangan izin usaha, harus melalui paling sedikit 107 meja.

Jadi katanya, jika untuk melayani ke-107 meja ini, seorang pengusaha harus siap mengeluarkan dana pasling sedikti Rp 100 juta. ‘’Jadi mana mungkin kita bisa bersaing, baik biaya maupun waktunya,’’ lanjutnya.

Inilah juga menurutnya kegagalan reformasi dan penerapan otonomi daerah yang sama sekali tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, khsususnya dunia usaha, malah sebaliknya, dunia usaha setiap saat berdebar jantungnya melayani agenda pemda setempat sekitar acara pemilihan-pemilihan kepala daerah.

‘’Banyak PIL yang harus kami layani. Pilkades, Pilkadus, Pilgub, Pilwalkot serta PIL-PIL yang lainnya. Jadi kami pusing dan bingung,’’ jelasnya.

Karena itu Ade menyarakan agar pemerintah tidak lagi menyerukan kepada dunia usaha agar melakukan efisiensi. ‘’Kami sudah cukup efisien. Tapi pemerintah tuh, belum efisien bahkan sangat boros. Jadi untuk memasuki PTA 2015, pemerintah dituntut untuk mengefisienkan diri,’’ tegasnya.

Sementara itu, Ramon Bangun mengatakan keunggulan Vietnam bisa lampaui Indonesia adalah karena upah buruh mereka lebih murah ditambah pemerintahan Vietnam yang amat kuat.
Kendati demikian katanya, Indonesia tak perlu khawatir karena Indonesia masih punya keunggulan lain dari Vietnam di bidang industri TPT. Segmen pasar yang sudah direbut Vietnam tidak perlu lagi kita ramaikan melainkan Indonesia harus mencari segmen lain. Jika Vietnam unggul di segmen medium-low, Indonesia harus rebut segmen medium-high.

Namun untuk mengarah kesana, perlatan industry TPT nasional sudah harus yang baik dan berusia relative muda sebab usia mesin yang ada sekarang sudah sangat tua.

‘’Program restrukturisasi harus jalan dan terus berlanjut secara multy years jadi tidak perlu lagi dianggarkan setiap tahun,’’ katanya menambahkan harus pula ada perbaikan teknologi.

Menyinggung keberhahsilan Vietnam meraih nilai ekspor US$ 18 miliar, kata Ramon benar kondisi itu harus disiasati sebab dengan nilai ekspor sebesar itu, Vietnam akan terus memperkuat diri dan dikhawatirkan mereka nanti akan tampil sebagai yang terbaik. Itu sebabnya Ramon mengusulkan Indonesia harus pula terus membenahi diri melalui restrukturisasi mesin. ‘’Indonesia sebaiknya menyediakan dana multy years paling tidak Rp 1 triliun untuk lima tahun ke depan,’’ lanjutnya.

Akan halnya Panggah mengatakan, industri TPT menghadapi banyak tantangan khususnya dalam persaingan global saat ini. Sebagian besar mesin TPT, alas kaki dan penyamakan kulit berusia di atas 20 tahun sehingga tingkat konsumsi energi tinggi.

Dengan mesin-mesin yang berusia di atas 20 tahun tersebut, selain menyebabkan konsumsi energi yang besar juga menyebabkan buruknya kualitas produk. Dan, kecepatan produksi juga turun.

“Permasalahannya, persaingan akan semakin ketat dengan munculnya negara-negara kompetitor baru yang sudah mengadopsi teknologi yang canggih,” katanya.

Selain itu, produk TPT dari China yang cenderung murah dan beragam terus membanjiri pasar Indonesia. Banjirnya produk tersebut bisa secara legal maupun ilegal. Masalah lainnya terkait dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang terus mengalami kenaikan, serta dibarengi dengan kenaikan tarif dasar listrik. (sabar)

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS