Untuk Sebuah Penghargaan

Loading

Oleh: Redaksi

ilustrasi

ilustrasi

DUA pekan terakhir ini terus bergulir pendapat yang bertentangan sekitar penghargaan World Statesman Award (WSA) yang diberikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di New York, Kamis (30 Mei 2013).

Dari mulai proses pemberian penghargaan, hingga detik-detik terakhir penyerahan bahkan sampai SBY sudah menerimanya-pun, kritikan kepada presiden yang juga Ketua Umum Partai Demokrat terus mengalir.

Namun apa daya. Seperti apa yang dikatakan pepatah; ‘’Anjing Menggonggong Kafila Berlalu”, demikianlah SBY merespon seluruh kritikan tajam yang dialamatkan kepada dirinya. Sudah barang tentu, keluarga besar istana-pun ‘’ikut-ikutan’’ mendukung SBY untuk segera terbang ke amrik menerima tropy penghargaan tersebut.

Bagi SBY and the gank, kritikan itu tidak mampu membendung keinginan untuk menerima penghargaan. Bahkan suara dari istana menyebut kalau para pelontar kritik itu adalah manusia-manusia Indonesia yang jiwa nasionalismenya patut diragukan. Begitu kerasnya ‘’perlawanan’’ dari keluarga istana hanya untuk mempertahankan sebuah tropy.

Alasan para pelontar kritik sebenarnya bukan karena dengki atau iri. Tapi kata mereka, alasan pemberian tropy WSA tersebut tidak sesuaid engan kenyataan di bumi Indonesia.

Sekitar delapans etengah tahun pemimpinan SBY disebut-sebut tidak ada keberpihakan pemerintahan SBY kepada kaum minoritas bahkan sikap SBY-pun terhadap perseteruan kaum minoritas dengan mayoritas di Indonesia sama sekali tidak pernah terlontar.

Pertentangan antaragama di bumi Pancasila ini tampaks emakin ketat. Rumah-rumah ibadah tidak sedikit yang ditutup dan pemeluk agama Kristen juga banyak yang tidak bisa lagi melaksanakan kebaktian, walau hukum dan aturan di negeri ini sama sekali tidak ada yang melarangnya. Tapi kenyataannya mendirikan ibadah ibadah semakin dipersulit.

Intinya, hidup rukun dan damai antara minoritas dan mayoritas, antara yang terpinggirkan dengan yang sejahtera di bumi persada Indonesia, masih terus dipertanyakan. Demikian juga penegakan hukum. Yang terlihat hanya di kulit luarnya saja sementara kasus-kasus pidana korupsi yang menyentuh orang-orang penting dan sedang berkuasa di negeri ini masih saja dapat perlindungan.

Namun demikianlah kenyataannya. Saat data-data tersebut disampaikan oleh para pelontar kritik dengan harapan SBY mengurungkan niat atau menolak penghargaan, SBY dengan kelompoknya ‘’berkeras’’ hati dan tidak mempedulikannya dan SBY tetap terbang ke negeri paman Sam untuk menggondol penghargaan yang sebenarnya tidak membawa arti apa-apa kepada kehidupan rakyat Indonesia.

Melihat ‘’kerasnya’’ hati SBY untuk tetap menerimanya, Wakil Ketua DPD, La Ode Ida berkata agar semua pihak tidak perlu lagi mengkritisi soal Award tersebut, pasalnya sekeras apapun kritikan itu, tidak membuat SBY batal menerimanya. Bahkan sebaliknya publik diajak menerima sikap SBY dengan lapang dada dan biarkan SBY menikmati sisa-sisa periode kedua dia ini.

Dengan perhargaan itu diyakini tidak akan mempengaruhi apapun pencapaian SBY di Indonesia sehingga penghargaan itu nantinya hanya menjadi kado di masa akhir kepemimpinannya.

Dan sebenarnya, saat-saat sekarang ini bukan simbol-simbol seperti itu lagi yang perlu diterima SBY karena sudah lewat masanya. Apalagi untuk sasaran pencitraan juga sudah lewat karena sudah detik-detik terakhir bagi SBY. Sehebat apapun nilai tropy WSA yang dia terima tidak lagi mengangkat nilai dan martabatnya di mata rakyat. Harusnya SBY sudah harus lebih mendengar suara rakyat, bukan suara istana. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS