Upah Minimum Provinsi Selalu Dipersoalkan

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

PERSOALAN upah yang layak dan tidak layak, memang relatif. Namun, ada kecenderungan upah buruh di negeri ini selalu tidak layak, karena ditengarai posisi tawarnya sangat rendah, dan dianggap buruh selalu butuh lapangan kerja untuk mempertahankan hidup.

Berbeda dengan di negara lain yang memberi nilai tinggi terhadap jasa sumber daya manusianya, dan bahkan penduduknya yang tidak bekerja atau menganggur pun, tiap bulan mendapat jaminan hidup dari negara.

Persoalan senantiasa muncul pada akhir tahun ketika akan menentukan upah minimum provinsi (UMP) untuk tahun berikutnya. Sebenarnya sudah ada standar yang harus dipatuhi untuk menentukan UMP, yakni mensurvei 46 komponen kebutuhan hidup layak (KHL) bulanan, sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja danTransmigrasi Nomor 17/2005.

Antara lain kebutuhan beras, minyak goreng, sandal jepit, kasur, air bersih, rekreasi. Sudah tentu diperhitungkan pula kebutuhan baju kerja, sewa tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lain yang sangat mendasar. UMP ditujukan bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari 1 tahun.

Namun, hasil survei inilah yang sering tidak cocok antara penghitungan Dewan Pengupahan Provinsi/Daerah dan penghitungan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja. Sehingga, hampir tiap tahun terjadi unjuk rasa dari kaum pekerja tentang ketidakpuasan terhadap penentuan UMP tersebut, bahkan unjuk rasa buruh yang terjadi pekan lalu di Batam, berakhir rusuh dan menimbulkan banyak kerugian.

Buruh di Jabodetabek, yang tingkat inflasinya tergolong tinggi di Indonesia, juga selalu dihadapkan pada perbedaan perhitungan ini. Contohnya, UMP Tahun 2012 di DKI Jakarta diusulkan oleh Dewan Pengupahan Daerah hanya sebesar Rp1,497 juta, sedangkan menurut perhitungan Forum Buruh DKI Jakarta seharusnya Rp 1,529 juta.

Oleh karena itulah Forum Buruh DKI Jakarta sempat mengancam mogok kerja apabila usul mereka tidak dipenuhi. Akhirnya, Dewan Pengupahan Daerah setuju mengusulkan untuk ditetapkan Gubernur DKI Jakarta. Akan tetapi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) balik tidak setuju. Mereka mengklaim tidak disertakan dalam rapat Dewan Pengupahan. Sehingga, belum diketahui bagaimana akhir perseteruan ini. Padahal UMP 2012 harus sudah ditetapkan 40 hari sebelum berlaku 1 Januari nanti.

Menurut Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Nasional, Bambang Wirahyoso, upah layak itu seharusnya didasarkan pada tingkat pendidikan, jumlah keluarga dan masa kerja buruh. Sebenarnya, upah buruh atau pekerja yang layak, akan meningkatkan daya beli masyarakat, dan pada akhirnya juga akan lebih menggerakkan roda perekonomian nasional. Namun Assosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) selaku pemberi kerja, berpendapat lain. Upah buruh yang lebih layak,dianggap membebani perusahaan.

Ancam Mogok Kerja

Sekjen Asosiasi Pekerja Indonesia, Muhammad Rusdi di Balai Kota DKI Jakarta pekan lalu mengatakan, mereka menolak penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2012 yang diusulkan Dewan Pengupahan hanya Rp 1,497 juta.

“Kami akan mogok kerja besar-besaran selama seminggu di kawasan Cakung, Cilincing, Pulo Gadung, dan Pelabuhan Tanjung Priok, untuk mendesak Gubernur DKI Jakarta agar UMP 2012 ditetapkan sesuai kebutuhan hidup layak (KHL) yang riel, yaitu Rp1,529 juta,” katanya.

Rusdi membandingkan UMP di daerah sekitar Jakarta, seperti Depok, dan Bekasi yang lebih besar atau di atas KHL. UMP 2012 di Kabupaten Bekasi ditetapkan Rp1,491 juta dan di Kota Bekasi Rp 1,422 juta. Di Kabupaten Tangerang Rp 1,379 juta dan untuk Kota Tangerang Rp 1,391 juta. Sedangkan Dewan Pengupahan Kota Depok masih mengusulkan tiga angka pilihan UMP 2012 untuk ditetapkan Gubernur Jawa Barat.

Namun, kendati UMP di Kabupaten Bekasi ditengarai sudah melebihi KHL, para buruh di sana masih tetap menolaknya, karena menurut perhitungan para buruh, UMP 2012 di kabupaten ini seharusnya Rp2,7 juta. Kaum buruh di Tangerang dan Depok juga menolak penetapan UMP dari Dewan Pengupahan Daerah, karena tidak sesuai dengan perhitungan serikat pekerja setempat.

Untuk menghindari perdebatan seperti ini, seharusnya penghitungan KHL ini diserahkan saja kepada Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga independen yang memang tugasnya melakukan survei KHL. Pemerintah Provinsi juga perlu berupaya mencari sistem penggajian lain untuk lebih mensejahterakan kaum buruh guna memperoleh hidup yang lebih layak. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS