Site icon TubasMedia.com

Warna Kepentingan Politik dalam Mengelola Kebijakan Fiskal Sangat Kental

Loading

ilustrasi-politik.jpggggggg

Oleh: Fauzi Aziz

 

PEMBANGUNAN ekonomi tanpa investasi dan repatriasi nyaris bisa terwujud. Untuk membangun infrastruktur hingga tahun 2019 diperlukan dana sekitar Rp 5.000 triliun. Pasti tidak sepenuhnya dapat dikerjakan sendiri oleh pemerintah, sehingga dana swasta harus masuk karena tiap tahun memerlukan dana sebesar Rp 1.000 triliun.

Belum lagi pembangunan di sektor ekonomi lain seperti manufaktur yang memerlukan investasi yang tidak kecil. Dana investasi dan repatriasi harus ada dan iklim investasinya harus kondusif. Ini menjadi persyaratan mutlak yang tidak bisa ditawar.

Ada tiga kekuatan konstruktif yang menjadi penopangnya, yakni dengan memobilisasi kebijakan moneter, kebijakan fiscal dan reformasi struktural yang didukung faktor stabilitas politik dan keamanan di dalam negeri dan kawasan.

Agregasi makro sudah jelas memerlukan stabilitas ekonomi, politik dan keamanan agar dana investasi dan repatriasi dapat dimobilisasi masuk. Agregasi mikronya adalah melakukan reformasi struktural yang bisa menyangkut reformasi kelembagaan, reformasi kebijakan sektoral, reformasi birokrasi dan reformasi mindset.

Bahkan Kotler sampai mengatakan bahwa penataan yang diperlukan untuk membangun ekonomi sebuah bangsa, negara sebaiknya mengadopsi pendekatan manajemen pemasaran strategis. Hal ini tentu saja dengan tidak mengabaikan budaya dan politik yang kerumitannya jauh melebihi perusahaan.

Manajemen strategis adalah proses berlanjut yang melakukan perbaikan atas dirinya sendiri yang secara konsisten mempertimbangkan kemana bangsa ini bergerak, kemana ingin mengarahkan tujuannya dan bagaimana cara terbaik untuk menuju kesana.

Dalam konteks Indonesia, kita punya kelemahan, yakni prosesnya seringkali tidak berkelanjutan, mudah berubah sesuai arah angin, terutama di bidang politik dan tidak konsisten. Sikap ini yang menyebabkan reformasi struktural banyak terganjal dalam prosesnya.

Tujuan kita sudah jelas, yakni meningkatkan investasi dan peningkatan produksi. Repatriasi menjadi salah satu cara yang dipandang baik untuk mencapai tujuan tersebut agar kontribusi investasi terhadap PDB semakin besar menopang pertumbuhan ekonomi.

Selama ini kontribusi investasi pisik terhadap PDB cenderung stagnan. Angkanya hanya pada kisaran 30% terhadap PDB. Harusnya bisa mencapai sekitar 40% per tahun. Hambatan utamanya adalah kebijakan moneter dan fiskalnya seringkali tidak sinkron selain reformasi strukturalnya juga setengah hati.

Warna kepentingan politik dalam mengelola kebijakan fiskal sangat kental, sehingga perannya sebagai stimulus ekonomi tidak maksimal. Kita belum terlalu berhasil mengelola kebijakan nasional untuk mengenali persepsi, preferensi dan dinamika perilaku dari pelaku pasar yang sesungguhnya mereka itu adalah para pihak yang akan memberikan respon terhadap kebijakan nasional.

Inilah mengapa ada sejumlah kalangan menghendaki agar paket-paket kebijakan ekonomi dievaluasi agar sasaran dan target dari masing-masing kebijakan tercapai. Investasi dan repatriasi bersifat inheren.

Keduanya berada dalam satu mekanisme ekonomi sehingga repatriasi harus terus terjadi, bukan hanya mudik karena ada tax amnesty. Mendorong investasi dan ekspor adalah mesin pertumbuhan ekonomi yang kita harapkan tumbuh. Kita mempunyai mesin pertumbuhan yang tidak dimiliki negara lain, yakni belanja konsumsi rumah tangga yang memberikan kontribusi terhadap PDB rata-rata per tahun di atas 50%.

Inilah daya tarik investasi yang tiada tandingannya, Indonesia memiliki daya tarik besar sebagai pusat produksi dan distribusi produk manufaktur global. Tahun 2017, menurut IMF perekonomian India diperkirakan tumbuh 7,5%, Tiongkok 6% dan lima negara Asean, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipi na akan tumbuh antara 5-5,5%.

“Satoru Mori” Profesor di Departemen Politik Global pada Universitas Hosei, Jepang menyampaikan bahwa perekonomian Asia mengemban peran memimpin perekonomian dunia dan upaya menjaga Asia agar tetap berada di jalur pertumbuhan ekonomi memiliki arti penting bagi negara lainnya.

Kondisi lain yang juga menggembirakan adalah jumlah kelas menengah Asia yang mencapai 1,2 miliar sebagai pendatang baru adalah sebuah potensi yang menjadi motor perubahan dan pertumbuhan baru Asia.

Diperkirakan tahun 2030, mereka akan membelanjakan sekitar 32 triliun dolar AS atau 43% konsumsi dunia. Dari sekitar 1,2 miliar kelas menengah Asia baru, di Indonesia angkanya sudah mencapai 130 juta jiwa atau separoh dari total jumlah penduduk.

Ketika produsen domestik dan regulator gagal memanfaatkan potensi tersebut, mereka pasti akan berpaling mencari lokasi belanja maupun investasi yang lebih menarik. Hukum besinya se erti itu. Ada pemicu, ada pula pemacunya, tetapi respon regulator tidak boleh lambat dan lamban.

Anugrah ekonomi bangsa mencakup sumber daya alam, jumlah penduduk, modal manusia, modal fisik, teknologi dan infrastruktur. Potensi ini ada di Indonesia. Karena itu, pilihan investor untuk menanamkan modalnya pasti tidak akan pernah mengabaikan Indonesia.

Kita berhadapan dengan kenyataan bahwa ketika berbicara tentang investasi dan repatriasi, kita menghadapi kompetisi yang amat ketat. Sebab itu, kebijakannya harus atraktif. Kotler mengingatkan kepada semua negara agar bisa memaksimalkan manfaat jangka panjang investasi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Investasi asing langsung adalah cara untuk mengisi lima kesenjangan utama, yakni 1). Kesenjangan sumber daya. 2). Kesenjangan mata uang asing,3). Kesenjangan efisiensi. 4). Kesenjangan anggaran belanja,5). Kesenjangan keterampilan teknis dan manajemen.

Kesenjangan nomor 1-4 dapat memperbaiki daya saing dalam jangka pendek dan menengah. Dan yang kelima dapat mempertahankan daya saing dalam jangka panjang. Jadi, pemerintah memang harus fokus membenahi kebijakan moneter, fiskal dan reformasi struktural secara konsisten agar investasi meningkat dan repatriasinya berjalan di sepanjang rantai proses dan kegiatan ekonomi berlangsung. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

 

Exit mobile version