Who Is In Power

Loading

power-jpg2

Oleh: Fauzi Aziz

 

PERTANYAAN ini bisa datang dari siapa saja. Kalau kita pernah membaca karya-karya Adam Smith tentang ekonomi pasar, dia berteori bahwa who is in power-nya adalah invisible hand. Pasar akan selalu bisa secara mekanistis menciptakan titik keseimbangan supply dan demand baru ketika terjadi ketidakseimbangan.

Mengutip keyakinan idiologis Alan Greenspan yang mengatakan pasar paling tahu apa yang terbaik dan pemerintah akan melakukan tugasnya dengan baik apabila memberi jalan.

Dua pandangan tokoh tersebut konsepnya masih sama dan sebangun dalam pemikiran mainstream ekonomi liberal yang kini mendunia. Adam Smith hidup di abad-18, persisnya antara tahun 1718-1883. Alan Greenspan adalah mantan Gubernur the Fed di AS yang kesohor pada zamannya.

Pada periode 1883-1946, pemikiran Adam Smith “dikoreksi oleh Jhon Maynard Keynes yang melihat kekurangan, baik pada ekonomi pasar bebas maupun ekonomi terencana. Pemikirannya yang sangat populer adalah peran positif pemerintah diperlukan ketika mekanisme pasar mengalami kegagalan.

Tujuannya untuk mengurangi kesengsaraan yang diakibatkan oleh siklus bisnis melalui pengelolaan yang cekatan terhadap pasokan uang dan kebijakan anggaran. Pemahaman ini sekarang dikenal sebagai perlunya  peran pemerintah melakukan intervensi menjaga stabilitas perekonomian, dengan cara melakukan countercyclical.

Jika kita cermati, kebijakan ekonomi di dunia yang menganut sistem liberal seperti Indonesia umumnya menggunakan instrumen yang konsepnya ditawarkan oleh Keynes dengan berbagai modifikasi.

Bagaimana perkembangannya di Indonesia. Sistem dan kebijakan ekonomi di Indonesia pada dasarnya menjalankan pemikiran Keynes.

Hal yang gampang difahami adalah peran pemerintah banyak melakukan regulasi mendorong kegiatan ekonomi. Di kebijakan makro ekonomi, peran pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal sangat terasa dalam menjaga stabilitas perekonomian.

Bagaimana dengan peran kebijakan di luar moneter dan fiskal, yang otoritasnya dikendalikan para menteri teknis, seperti Menteri Pertanian, Menteri KKP, Menteri ESDM, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri BUMN, Menteri KUKM dan Kepala BKPM.

Di bidang sektoral ini peran pemerintah dapat dikatakan “bermasalah”. Ada beberapa penjelasan yang bisa diurai agar kita memahami duduk soalnya.

Pertama, kebijakan ekonomi di Indonesia kalau dikaitkan dengan pertayaan who is in power, maka dapat dijawab dengan mudah,  Gubernur BI sebagai pengendali moneter, OJK sebagai pengawas lembaga keuangan dan perbankan, LPS sebagai lembaga penjamin simpanan dan Menteri Keuangan sebagai pengendali otoritas fiskal yang bertanggungjawab kepada Presiden.

Ada catatan bahwa Menteri Keuangan dalam menjalankan tugas tidak bersifat independen seperti Guber nur BI karena kebijakan fiskal tiap tahun harus diputuskan bersama dengan DPR.

Sementara itu Who is in Power di sektor mikro ekonomi, pengendalinya adalah para menteri teknis yang sudah disebutkan di atas. Masih ada lagi Who is in Power dalam mengendali kan perekonomian nasional, Invisible Hand. Tangannya tak tampak, mereka tidak berada dalam struktur, tetapi perannya sangat kuat dalam mengambil kebijakan ekonomi.

Siapa mereka? Karena tak nampak, tidak perlu disebut satu persatu, karena umumnya masyarakat sudah mafhum siapa mereka.

Kedua, yang perlu difahami bahwa ekonomi Indonesia kekuatannya sangat besar, tetapi lemah dan cenderung ribet karena banyak yang mengurus. Celakanya yang mengurus, terlalu sibuk dengan urusan sendiri yang lebih suka menjadi raja-raja kecil pemegang dan pengendali regulasi yang “tak tahu diri” bahwa akibat tindakannya perannya bukan mendorong pertumbuhan, sebaliknya malah melemahkan pertumbuhan ekonomi.

Deregulasi ternyata tidak mengatasi masalah karena produk deregulasi menghasilkan regulasi baru yang tidak serta merta mengatasi masalah, tetapi malah cenderung menimbulkan masalah baru.

Ketiga, hampir semua pelaku usaha di Indonesia mengatakan dalam berbagai kesempatan republik ini jika ingin menggenjot pertumbuhan ekonomi memerlukan harmonisasi regulasi. Mereka mengatakan biangnya ada di Senayan, dimana berbagai UU yang dihasilkan, khusus terkait dengan masalah ekonomi tidak dikembangkan dengan platform yang tepat.

Mereka cenderung mengejar kuantitas daripada kualitas UU. Dampak dari kinerja semacam itu, tentu pada pembuatan seluruh aturan pelaksanaanya akan mengikuti alur dari yang ada di UU. Apa yang dapat kita lihat tentu kita temukan ribuan regulasi di pusat maupun di daerah tidak menjamin adanya harmonisasi.

Ongkos Membuat Regulasi

Pertumbuhan ekonomi “terkunci” dalam kamar sendiri oleh regulasi yang berlapis-lapis dan hanya menghasilkan sumbatan disana-sini. Nampaknya ada pemahaman yang salah dalam menterjemahkan pemikiran Keynes tentang pentingnya intervensi pemerintah dalam mengelola perekonomian di Indonesia dewasa ini.

Dalam konteks regulasi berarti ada kelompok Who is in Power lagi yakni anggota DPR/DPD/DPRD yang kekuasaannya power full dan karena itu mereka harus diberikan penghormatan khusus dengan menyebut sebagai anggota dewan yang terhormat. Tidak melewati anggota dewan yang terhormat jangan harap pembuatan UU dapat diselesaikan dengan cepat.

Jangan berharap kebijakan fiskal akan disetujui DPR as it is jika tidak ada “ongkosnya”. Ini bukan rahasia lagi.

Keempat,meminjam istilah yang digunakan almarhum Soegeng Sarjadi dalam buku kumpulan tulisannya berjudul “Menguji Kenjantanan Pemerintah”.

Judul tulisan itu tepat jika konteksnya kita kaitkan dengan pembangunan ekonomi Indonesia dewasa in. Kita menunggu Kejantanan Pemerintah  mengatasi masalah- masalah yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Misalnya dalam menindak KKN. Mematikan ruang gerak para pelaku Invisible Hand. Memajukan ekonomi kerakyatan dan sebagainya. Kebijakan makro ekonomi Indonesia makin proper, meskipun pada ranah kebijakan fiskal harus mendapatkan persetujuan anggota dewan yang terhormat.

Konon harga dari sebuah proyek APBN ada ongkosnya yang besarnya bisa berada pada kisaran 5-8% dari nilai proyek. Inipun sudah terlalu sering disinggung sehingga bukan menjadi rahasia lagi. Kejantanan Pemerintah membubarkan Petral Singapura kabarnya sudah kabur tak terdengar lagi.

Menetapkan harga gas untuk industri masih harus menunggu tahun baru 2017. Soal sapi, bolak balik antara Indonesia dan Australia. Begitu antara NTT/NTB-Jakarta tukang palaknya berjibun sampai sapinya kurus kering, namun harganya mahal.

Dibawa balik ke NTT/NTB tidak mungkin, bisa- bisa mati di tengah jalan. Dan Kenjantanan Pemerintah yang sangat kita nantikan adalah melakukan perubahan struktural kelembagaan dan regulasi karena memang biang kerok ekonomi dalam negeri terseok-seok pertumbuhannya dan menjadi high cost, sekitar 70% dihambat oleh ribuan regulasi yang “saling memakan”.

Keseluruhan teka- teki ini akhirnya terjawab sudah bahwa Who is in  Power-nya  adalah pemerintah dan parlemen karena kedua lembaga tinggi negara yang paling bertanggungjawab dalam urusan pembuatan kebijakan dan regulasi adalah mereka. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS