Zulhas dan Airlangga Saling Tuding Penyebab Langkanya Minyakita

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Minyak goreng besutan pemerintah yang diluncurkan tahun lalu, Minyakita, mendadak langka di sejumlah daerah. Kalaupun ada, harga jual dari pedagang melonjak hingga Rp20 ribu per liter.

Di pasar tradisional Pa’baeng-baeng Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya harga Minyakita dijual mulai Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per liter.

Begitu pula di beberapa pasar di Jakarta. Di Pasar Santa dan Pasar Warung Buncit, banyak pedagang yang tidak lagi menjual Minyakita. Beberapa penjual memang terpantau masih menjual Minyakita, namun harganya di atas Rp14 ribu per liter.

Padahal, produk minyak goreng yang diinisiasi oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) tersebut harusnya dijual seharga Rp14 ribu per liter, sesuai dengan HET.

Zulhas pun kemudian membeberkan sejumlah alasan kenapa Minyakita langka di pasaran belakangan ini. Salah satu penyebabnya adalah program biodiesel B35. Pasalnya program itu meningkatkan penggunaan CPO, bahan baku minyak goreng.

Dalam program B35, pemerintah akan meningkatkan persentase campuran bahan bakar bakar nabati ke dalam bahan bakar minyak jenis solar dari 20 persen pada B20 menjadi 35 persen.

“B20 menyedot CPO 9 juta, begitu berubah jadi B35 tambah 4 juta jadi 13 juta disedot,” ujar Zulhas di Hotel Shangri-La Jakarta, Senin (30/1).

Tudingan Zulhas soal B35 yang membuat Minyakita langka dibantah oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga mengatakan program B35 tidak mengganggu pasokan minyak sawit untuk kebutuhan konsumsi, seperti minyak goreng.

“Kami tegaskan di sini bahwa program B35 ini tidak akan mengganggu pasokan untuk minyak kebutuhan konsumsi,” katanya.

Minyak Sawit Berlebih

Bahkan Airlangga mengatakan suplai minyak sawit berlebih. Menurutnya, pemerintah sudah meningkatkan kebutuhan minyak sawit dalam negeri dari 300 ribu kiloliter (kl) menjadi 450 ribu kl.

Di lain sisi, tekanan pasar ekspor di Eropa juga akan mengurangi permintaan, yang kemudian dikompensasikan dengan kehadiran B35.

Program B35 bukan lah satu-satunya yang diklaim Zulhas sebagai penyebab Minyakita langka. Zulhas menyebut kelangkaan Minyakita dipicu aksi serbu masyarakat karena kualitasnya premium dengan harga yang murah.

Selain itu, Minyakita juga mudah ditemukan di mana saja. Padahal, menurutnya, jatah pemenuhan minyak goreng untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) hanya 300 ribu ton per bulan.

“Jadi semua ibu-ibu carinya Minyakita. Padahal jatahnya 300 ribu ton per bulan. Tentu di pasar jadi kurang,” dalih Zulhas.

Alasan lainnya adalah realisasi DMO bulanan yang turun dari 100,94 persen pada November 2022 menjadi 86,31 persen sebulan setelahnya.

Penurunan DMO berlanjut pada Januari 2023 menjadi 71,81 persen atau merosot dari target pemenuhan bulanan sebesar 300 ribu ton.

“Dampak penurunan DMO mengakibatkan terjadinya penurunan pasokan minyak goreng di masyarakat, sehingga harga minyak goreng rakyat mengalami kenaikan,” ujar Zulhas.

Sementara itu, analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengaku kurang yakin persoalan Minyakita terletak pada program B35.

Menurutnya, suplai bahan baku program tersebut sudah diperhitungkan oleh Pertamina, terlebih program B35 sudah lebih dulu ada dibanding Minyakita.

Kemendag Gagal

“Yang menjadi persoalan justru Kemendag gagal memberikan jaminan bahan baku untuk program Minyakita, sehingga saat permintaan tinggi, suplainya justru menyusut dan mengerek harga jual di pasaran,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Ronny menilai Kemendag gagal memberikan kepastian pasokan Minyakita kepada pasar maupun bahan bakunya sehingga harga melonjak di atas HET.

Ia pun tidak yakin kualitas Minyakita menjadi alasan masyarakat menyerbu minyak tersebut, seperti yang diklaim Zulhas. Jika harga minyak curah jauh lebih murah, Ronny yakin akan banyak juga masyarakat yang membeli minyak curah.

Menurutnya, masyarakat memilih Minyakita karena harganya yang memang cukup kompetitif untuk sebuah produk minyak kemasan. Hal itu sejalan dengan tujuan pemerintah meluncurkan minyak tersebut di mana Minyakita digunakan untuk menekan harga minyak goreng kemasan yang mahal di tahun lalu dengan strategi dual price, yakni Minyakita hadir dengan harga baru atau HET Rp14 ribu per liter.

Pemerintah Gagal

“Jadi jangan disalahkan masyarakat yang ramai-ramai mengonsumsi Minyakita karena targetnya memang itu. Jadi yang salah adalah pemerintah karena gagal memberikan jaminan pasokan Minyakita dan pasokan bahan bakunya, sehingga harta naik di atas HET,” ujar Ronny.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah perlu memeriksa data produksi dan ekspor CPO pada bulan ini, di mana estimasi produksi CPO per bulan di kisaran 4,5 juta ton hingga 4,6 juta ton.

Sementara kebutuhan untuk program B35 sekitar 1,2 juta kiloliter per bulan dan untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan untuk oleokimia sekitar 1,3 juta ton hingga 1,4 juta ton per bulan.

“Jadi dari sisi neraca harusnya pasokan masih cukup banyak. Saya duga volume produsen CPO lebih senang ekspor karena harga CPO di Januari ini lebih tinggi dari Desember. Akibatnya pasokan CPO untuk minyak goreng bisa saja sedikit berkurang,” ujar Fabby.

Sementara itu, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan data yang dikeluarkan oleh gabungan pengusaha Kelapa Sawit Indonesia menunjukkan pangsa CPO yang diproduksi untuk biofuel meningkat sejak 2019.

Di saat yang bersamaan, peningkatan itu diiringi dengan turunnya alokasi atau pangsa CPO yang diproses untuk produksi komoditas pangan, salah satunya minyak goreng.

“Oleh karena itu dijalankan program B35 memang berpotensi mengurangi pasokan CPO yang diperuntukkan untuk produksi minyak goreng dan pada level tertentu ini juga berpotensi meningkatkan harga minyak goreng itu sendiri,” ujarnya.

Kendati demikian, Yusuf menilai program B35 bukanlah faktor tunggal yang menyebabkan harga Minyakita melonjak. Ia mengatakan faktor lainnya adalah masalah distribusi. Hal itu mirip dengan yang terjadi saat harga minyak goreng naik pada tahun lalu.

Ditimbun Oknum

Saat itu, terdapat sejumlah oknum yang melakukan penimbunan dan akhirnya ke alur distribusi barang dari minyak goreng tersebut terhambat dan mendorong kenaikan harga.

“Saya kira faktor ini yang juga perlu dimasukkan sebagai bahan evaluasi stakeholders terkait dalam beberapa bulan ke depan karena kita tahu bersama dalam kedua bulan ke depan masyarakat Indonesia yang muslim sudah memasuki bulan Ramadhan dan permintaan terhadap minyak goreng itu umumnya mengalami peningkatan,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan CPO untuk pangan atau bahan baku minyak goreng sedang menghadapi tiga masalah yang kompleks.

Pertama, fluktuasi harga CPO di pasar ekspor di mana masih berlanjutnya krisis energi global dan pembukaan ekonomi China mengakibatkan industri menggenjot ekspor.

Kedua, CPO untuk program biodiesel terus naik porsinya dan harga pembelian biodiesel dipandang lebih menarik dibanding menjual ke pabrik minyak goreng. Apalagi program B35 cukup ambisius, sehingga Bhima menyarankan harus dihitung cermat oleh pemerintah akan menyedot berapa banyak CPO.

Ketiga, kenaikan permintaan minyak goreng menjelang momentum Ramadhan-Lebaran.

“Jadi ada tarik menarik yang belum selesai, dan khawatir yang dikalahkan adalah CPO untuk kebutuhan pangan. Jangan mengulang kesalahan kebijakan di 2022 lalu karena fatal bisa sebabkan kelangkaan bukan hanya kenaikan harga eceran minyak goreng,” ujarnya. (sabar)

 

 

 

 

 

 

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS